Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Maret 16, 2006

MENYOAL HAK HIDUP WARGA NEGARA

MENYOAL HAK HIDUP WARGA NEGARA

Oleh: Pormadi Simbolon*


Baru-baru ini Jemaah Ahmadiyah di Mataram mengadukan nasibnya ke Komnas HAM di Jakarta. Mereka merasa hak pribadi dan hak miliknya dirampas. Mereka juga berniat serius menetap di negara lain. Singkatnya, keselamatan jiwa raganya sebagai hak-hak natura (kodrati) mereka semakin terancan di negeri ini.

Tindakan dan keinginan Jemaah Ahmadiyah mengusik rasa kemanusiaan kita terkait dengan hak-hak natura (paling mendasar) mereka yang tidak jelas di republik ini.

Hak-hak ‘Natura’ Warga Negara

Soal ‘natura’ bukan melulu dalam pengertian ‘alam’ dalam hidup sehari-hari. ‘Natura’ (berasal dari bahasa Latin) lebih manyangkut pada pengertian mendasarnya yaitu kodrati, asali, sejati, otentik dan universal. Natura manusia berarti apa yang kodrati, asali, sejati, otentik dan universal yang harus diperoleh dan dimiliki oleh manusia. Bila dikatakan hak-hak natura manusia, itu berarti hal yang bersentuhan dengan hak-hak asasi manusia secara kodrati, asali, sejati, otentik dan universal.

Kebutuhan natura manusia adalah keharusan atas hak-hak kodrati, asali, otentik dan universal manusia. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, pendidikan, keamanan, kesederajatan di hadapan hukum, perlakuan adil, kebebasan berpendapat dan hak-hak lain yang universal berlaku bagi manusia. (bdk. Universal Declaration of the Human Right, art. 1-12).

Hak-hak tersebut baru bisa terpenuhi bila masing-masing individu yang hidup dalam tata hidup bersama saling menghargai dan mengakuinya sebagai hak universal dan sejati. Itu mengandaikan adanya pemimpin atau aparat pemerintah (negara) yang dipercaya setiap individu untuk menjamin kelangsungannya dalam tata hidup bersama.

Bila disebut jaminan terpenuhinya hak natura manusia tergantung pada penyelenggaraan hidup bersama oleh negara maka perannya (negara) sangat mendasar. Sebab negara terbentuk karena dan demi pencapaian pemenuhan hak-hak natura masing-masing individu atau warga negara. Negara sejatinya berdiri merupakan hasil pertemuan aneka hak-hak natura warga yang perlu dan hanya bisa dipenuhi dalam tata hidup bersama.

Menurut Aristoteles natura pada kodratnya langsung bersentuhan dengan kesejatian manusia. Kesejatian manusia tidak lain bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaannya atau memperoleh hak-hak naturanya hanya dalam tata hidup bersama. Sebab manusia adalah makhluk politik atau memiliki kecenderungan untuk hidup bersama. Dalam tata hidup bersama, setiap individu dapat memenuhi apa yang menjadi haknya yang asali, otentik, sejati dan universal. (bdk. Book VII, part I, XIV-XV, Aristotle, Politics, terj. Benjamin Jowett)

Bila Diabaikan
Sejauh pemberitaan media massa, aneka kekerasan, kerusuhan dan penyerangan oleh sekelompok warga masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain atau terhadap aparat pemerintah bisa berkaitan langsung dengan terabaikan dan hilangnya sebagian dari apa yang menjadi hak-hak natura warga.

Bila warga masyarakat coba memberontak, memrotes dan menentang segala bentuk diskriminasi dan perlakuan tidak adil secara sosial-budaya, ekonomis, dan politis maka tidak terlepas dari peran negara. Bila pemimpin negara lemah, stabilitas dan keamanan tidak terjamin, tidak tegaknya hukum dan keadilan, tidak adanya hukum (sangsi) dan pengadilan atas perbuatan salah maka pada saat itulah timbul sikap melawan dari warga negara.

Jemaah Ahmadiyah berniat hidup menetap di negara lain. Niat tersebut tentu timbul karena eksistensi mereka sebagai warga negara terancam. Mereka gelisah dan risau akan hak hidup mereka.

Sekelompok pemeluk agama tertentu akan memrotes pemerintah bila pelaksanaan kegiatan beribadahnya dihambat atau diganggu oleh kebijakan (pemerintah) yang dapat dimanfaatkan kelompok lain untuk menindasnya. Sebab pelaksanaan kegiatan beribadah adalah hak asasi manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhannya.

Para petani misalnya mendesak pemerintah untuk mempercepat kenaikan harga pembelian untuk harga gabah kering panen dan gabah kering giling adalah suatu bentuk cetusan bahwa hak hidupnya sedang terancam.

Para insan pers memrotes kebijakan pemerintah yang mempidanakan para jurnalis karena tulisan atau pendapatnya yang mengkritik pelayanan publik pemerintah juga merupakan ungkapan bahwa kebebasan berpendapat terancam.

Kalau sejumlah rakyat kecil yang berutang kemudian tidak bisa membayar utangnya, lalu hartanya langsung disita aparat pemerintah, maka akan mendorong timbulnya sikap berontak. Sikap berontak muncul karena pemerintah sendiri mengambilalih utang konglomerat hitam yang merugikan negara, sedangkan rakyat kecil semakin diperas karena hal yang sama. Inilah bentuk perlakuan tidak adil dan diskriminatif terhadap warga.

Sejumlah guru dan orang tua murid akan memrotes pemerintah jika gedung sekolah tempat memperoleh hak pendidikan akan digusur atau ditutup dan lalu dijadikan menjadi pusat perbelanjaan (mall, plaza) atau perindustrian.

Sejatinya negara yang berperan sebagai penjamin hak-hak natura warga negara, ia seyogiyanya kembali kepada kesejatiannya yaitu selalu mengacu kepada kesejatian, keotentikan, keuniversalan hak-hak asasi manusia yang menjadi warganya. Bila hak-hak natura warga “dipermainkan” alias diabaikan oleh negara maka berhentilah ia sebagai “negara” dalam arti sejatinya.

Apakah negara Republik Indonesia sudah mengacu pada kesejatian dan keotentikan hak-hak natura warganya? Itulah pertanyaan reflektif bagi penyelenggara negara mulai dari lembaga eksekutif, yudikatif hingga lembaga legislatif. Bila kita berprinsip “pokoknya bagaimana sebaiknya” atau “yang penting efektif dan efisien” tanpa melihat ke-natura-an kemanusiaan warga negara maka pengabaian dan penghilangan sebagian hak-hak natura warga akan kerap terjadi.

Soal hak-hak natura manusia yang menjadi warga negara adalah soal penjaminan yang harus diberikan negara kepada warganya. Itu berarti negara harus menjamin dan membela nilai-nilai universal, sejati, otentik, asali warga dari segala bentuk ancaman baik dari dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat. Dengan perkataan lain, negara tidak boleh mengedepankan kepentingan sekelompok orang (partai, suku bangsa, golongan atau kepentingan sektarian/ sempit) melainkan ia harus merujuk kepada hak-hak natura manusia yang menjadi warganya. Artinya semua warga negara berhak mendapat apa yang menjadi hak-hak asasi yang sejati, asali, otentik dan universal. Jika sebagian hak-hak tersebut diabaikan, maka sikap berontak, protes dan menentang akan bermunculan dimana-mana. Oleh sebab itu, jangan main-main dengan hak-hak natura warga.


* Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,
tinggal di Jakarta.

MENYOAL HIDUP KEBERAGAMAAN PEJABAT PUBLIK

MENYOAL HIDUP KEBERAGAMAAN PEJABAT PUBLIK

Oleh Pormadi Simbolon*


Menurut pemberitaan media massa, dua mantan pejabat penting departemen agama (Depag), Said Agil Al Munawar dan Taufik Kamil, harus menjalani sebagian sisa hidupnya dalam penjara karena kasus penyimpangan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Peristiwa tersebut mengusik dan menyentuh ranah refleksi atas kualitas keberagamaan kita.

Sebelumnya, kedua mantan pejabat tersebut di mata dan di hadapan karyawan departemen agama dan teristimewa jemaat beragama pasti dipandang selain sebagai tokoh penting tetapi juga sebagai tokoh agama atau sosok yang pengetahuan dan penghayatan keberagamaannya mendalam.

Persoalannya bukan karena mereka sebagai pejabat penting negara saja, tetapi juga karena ketokohannya sebagai sosok yang dipandang cakap tentang agama itu sendiri serta sebagai pelayan publik yang berlabelkan departemen agama. Sejauh mana para oknum pejabat mewujudkan kualitas keberagamaannya dalam sikap dan perbuatan? Buah-buah apa yang dihasilkan dari penghayatan keberagamaannya?

Kontradiksi dengan Sikap dan Perbuatan
Menteri Agama, Mohammad M. Basyuni pernah mengatakan, pembangunan agama yang dilaksanakan selama ini belum optimal. Salah satu kekurangan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pejabat Depag beserta jajarannya adalah masih kurang memadainya pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang diajarkan agama di masyarakat. Kehidupan beragama pada sebagian masyarakat baru sebatas pencapaian simbol-simbol (Ikhlas Beramal, No. 39, Th.VIII, Nopember 2005).

Pernyataan Menteri Agama tersebut bisa kita saksikan di lapangan kehidupan masyarakat. Sikap dan perilaku sebagian pejabat negara (tidak hanya di Depag) kerapkali menyeleweng dari sumpah jabatan, tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan publik guna mencari keuntungan dan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh kontradiktif memang antara sumpah jabatan dan perbuatan dalam tugas pelayanannya. Banyak oknum pejabat publik yang cenderung mementingkan kepentingan sendiri, memiliki budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli) gelar, ijazah, perkara peradilan dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyelundupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan menjadi buah dari keberagamaannya.

Perilaku sekelompok oknum pejabat publik tersebut selain bertentangan dengan ajaran agama, juga ikut ambil bagian dalam merendahkan mutu kehidupan lahir-batin warga bangsa. Penderitaan rakyat yang semakin mendalam sampai ke tahap yang dapat menghapus pengharapan merupakan salah satu akibatnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, kehidupan moral pejabat di mata publik semakin berantakan dan terkesan negatif. Perilaku sebagian para pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan bagi karyawan/ bawahan dan masyarakat banyak justru menjadi sosok yang mencerminkan manusia egoistik, konsumeristik dan materialistik. Uang seringkali menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan dan pelayanan.

Memang kualitas hidup keberagamaan kita tergantung pada keterbukaan hati setiap pribadi dalam menerima, mengakui dan mewujudkan nilai-nilai ajaran keberagamaan (keadilan, kejujuran dan kemanusiaan) dalam perbuatan, namun berdampak sosial bila setiap pribadi melanggar nilai-nilai tersebut.
Refleksi-Ulang Hidup Keberagamaan kita


Agama seringkali gagal alias mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluk agama, sebab ajaran agama tidak pernah dibatinkan dalam perilaku tetapi menjadi sekedar simbol-simbol yang menyelubungi perilaku ketidakadilan, ketidakjujuran dan ketidakmanusiawian.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bangsa kita sebagai bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kata lain bangsa kita sebagai bangsa yang mengaku diri beragama. Namun buah-buah dari hidup keberagamaan kita belum menunjukkan buah-buah yang matang alias bisa dilihat dalam perbuatan adil, jujur dan memanusiawi.

Setiap agama, berperan sekurang-kurangnya sebagai pembawa nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Ketidakadilan terhadap karyawan dan rakyat yang miskin, lemah, kecil dan marjinal adalah penghinaan kepada Allah Maha Pengasih. Ketidakjujuran dalam tugas pelayanan publik justru merendahkan makna kehidupan beragama. Sikap merendahkan bahkan mengucilkan orang lain sebagai manusia karena berbeda agama atau hal lainnya justru menghina Allah Pencipta.

Peran Agama Dalam Pembangunan Bangsa
Pada saat bangsa Indonesia sedang dalam giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan kesejahteraan dan program penegakan keadilan, hukum, HAM dan demokrasi, di saat itu pulalah peran agama semakin penting. Peran agama adalah menagih nilai-nilai yang diajarkannya seperti nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan dari setiap pemeluk agama (termasuk semua pejabat publik) dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang damai, adil dan sejahtera.


Pada 1998, saat Indonesia mengalami proses transisi dari masa Orde Baru menuju masa Reformasi, seorang agamawan, Nurcholish Madjid (Cak Nur) hadir sebagai penunjuk arah bangsa. Dia dengan tenang dan konsisten mendukung proses demokratisasi yang menghargai nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan. Sosok Cak Nur merupakan model yang setia pada nilai-nilai agama Islam dan membuahkannya dalam sikap dan perilaku konkrit yang berguna bagi kemaslahatan banyak orang.

Demikian pula, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) memperjuangkan nasib rakyat minoritas, tertindas dan tersingkir. Ia tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah yang lewat penghayatan hidup keberagamaannya mengajarkan nilai keadilan, kejujuran dan kemanusiaan.

Masih banyak tokoh dan model yang tidak perlu disebut di sini, tetapi sesungguhnya mereka mewujudkan penghayatan hidup keberagamaannya dalam buah-buah yang bisa dinikmati banyak orang yaitu kebaikan bagi semua orang.


Sesungguhnya kita bisa menilai, bahwa keberagamaan seseorang dinilai bukan dari kata-kata atau khotbah yang keluar dari mulutnya tetapi dari buah-buah penghayatan keberagamaannya, yang lalu diwartakan dalam sikap dan perbuatan saat menjalankan tugas pelayanannya seturut panggilan hidup atau profesinya.


* Penulis adalah pengamat hidup sosial keberagamaan,
alumnus STFT Widya Sanana Malang, tinggal di Jakarta.
Powered By Blogger