Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Senin, Maret 27, 2006

BILA RAKYAT SEMAKIN GELISAH

Bila Rakyat Semakin Gelisah
Oleh Pormadi Simbolon

dimuat di harian SUARA KARYA, Jumat, 24 Februari 2006

Baru-baru ini, para ulama wakil sejumlah organisasi kemasyarakatan menyampaikan sejumlah kegelisahan dan kerisauan mereka atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa (Senin, 13/2) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam waktu yang tak berselang lama, para pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bergegas ke Istana menyampaikan keputusasaan karena persoalan mereka menemui jalan buntu akibat menjadi korban pemerasan dan dijadikan bola pimpong oleh oknum aparat pemerintah.

Para ulama dan debitor BLBI mendapat tempat di hati penghuni Istana Negara dan sudah pasti juga akan mendapat perhatian para anggota DPR. Lalu bagaimana dengan rakyat yang dalam keputusasaan karena kesulitan hidup bila datang ke Istana dan gedung DPR Senayan?
* * *

M Nadinir (36), seorang pemuda lajang dari Bekasi, harus gantung diri karena tidak kuat menanggung kesulitan ekonomi. Susahnya hidup membuat ia mengalami tekanan batin berkepanjangan. Ia putus asa, namun hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri.

Lewat pemberitaan di layar televisi, media cetak dan internet, kita mengetahui betapa banyak rakyat mengeluh dan menjerit karena kesulitan hidup. Sebagian rakyat harus mencari kerak nasi dan sisa makanan tetangga untuk diolah ulang menjadi aking untuk makanan keseharian anak-anak dan keluarga. Ini terjadi akibat harga sembako yang terus membubung naik pasca- kenaikan harga BBM.

Para nelayan tidak bisa mencari ikan di laut karena harga solar semakin tidak terjangkau. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa ada tanggapan berarti dari pemerintah. Mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dengan segala usaha yang mungkin dapat mereka lakukan.
Rasanya, nasib rakyat tidak banyak berubah dari masa pemerintahan satu ke pemerintahan lainnya. Tak pelak sempat muncul keluh kesah bahwa hidup di masa pemerintahan Soeharto lebih baik daripada di masa-masa pemerintahan sesudahnya. Sekarang ini hidup dirasakan semakin susah. Pekerjaan sulit didapat. Para petani tidak pernah bisa menikmati keuntungan hasil penjualan gabah mereka.

Kenaikan harga BBM dan kebijakan impor beras di masa pemerintahan SBY (dan pemerintahan sebelumnya) membuat hidup rakyat semakin sengsara dan berada dalam ketidakpastian. Kemiskinan selalu menggerogoti. Kematian akibat kekurangan gizi dan kelaparan pun selalu mengintai rakyat kecil.

Presiden SBY pernah meminta pengertian rakyat atas dicabutnya subsidi BBM yang katanya hanya dinikmati orang kaya. Rakyat pun diam dan mengerti seraya menanti adanya perubahan atas nasib mereka. Nyatanya, kehidupan rakyat semakin memburuk.

Menanggapi kritik dan demo anti-impor beras oleh warga masyarakat, pemerintah dan DPR cenderung apatis dan bersikap tidak peduli. L Wilardjo dalam sebuah artikel di media massa pun menyebut pemerintah dan DPR sudah tebal kuping alias ndableg.

Rakyat sering kali terpaksa harus mengalah pada kemauan pemerintah. Mereka harus menerima kebijakan pemerintah (lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif). Ketika rakyat berusaha memahami dilema yang dihadapi pemerintah, semakin lama mereka semakin menderita dan sengsara. Menangis!

Di saat sulit, gelisah dan putus asa, rakyat hanya bisa diam, memberontak tak akan berarti apa-apa. Mungkin pilihannya adalah "gantung diri" dan atau "mati pelan-pelan" dengan sendirinya?
Pasca-kenaikan harga BBM, kemiskinan selalu menggerogoti kehidupan rakyat. Kesulitan ekonomi membuat mereka ekstra ketat mengatur ekonomi keluarga. Apa pula yang terjadi pada rakyat kecil jika tarif dasar listrik (TDL) jadi dinaikkan dalam waktu dekat?

TDL memang belum dinaikkan. Namun indikasi terjadinya pengangguran dan PHK massal mulai tampak. Ratusan industri logam dan kimia di Sumatera Utara mulai merumahkan karyawannya. Demikian pula PT Sanyo Jasa Components mulai merumahkan 350 orang buruhnya agar bisa survive.

Bisa dibayangkan, kesulitan hidup semakin menjadi-jadi di kalangan rakyat. Mereka membutuhkan tempat mengadu. Bila mengadu ke Istana, rasanya sudah tidak ada artinya lagi. Ketika berdemo ke Istana soal kenaikan harga BBM dan anti-beras impor, rakyat cenderung dicuekin. Harga BBM naik, rakyat sengsara. Kebijakan impor beras dilanjutkan, rakyat tambah menderita.

Demikian pula ketika rakyat berharap pada lembaga perwakilannya sendiri di gedung DPR, yang mereka terima hanya "stempel" setuju atas impor beras. Rakyat pun kembali harus siap-siap menderita dan diacuhkan para wakilnya.

Baik kepada pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif), rakyat tampaknya sudah tidak mendapat tempat di hati mereka. Rakyat selalu dibujuk untuk coba mengerti pemerintah, bahkan pernah diberi sumbangan langsung tunai agar rakyat diam dan tenang.
Apakah kondisi negara demokratis ini masih merupakan manifestasi pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat?

Bila sejumlah tokoh elite ormas, pengusaha konglomerat dan pengutang besar datang ke Istana, mereka langsung mendapat sambutan hangat. Mereka dilayani dan dijamu dengan baik. Ini sebuah kenyataan yang ironis. Sementara rakyat?

Kehidupan rakyat semakin miskin, selain akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, juga karena telah menjadi korban dari ulah para oknum pejabat pemerintah yang cenderung mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mentalitas jalan pintas (jual-beli gelar, ijazah dan jabatan), gaya hidup mewah di kalangan pejabat, berbagai bentuk tindak ilegal (penyenludupan, pemalsuan, pembajakan) dan kekerasan merupakan budaya sekelompok oknum yang menyebabkan rakyat hidup miskin, lemah, marjinal dan semakin sengsara.

Solusi untuk mengurangi kesengsaraan hidup rakyat hanyalah dengan kemauan pemerintah dan DPR untuk membuka hati dan mendengarkan jeritan penderitaan rakyat. Penguasa juga dituntut memiliki kemauan keras menindak para pelaku budaya busuk dan perusak negara serta penyengsara rakyat. Pemerintah SBY dan jajarannya diharapkan bersedia mengubah kultur pemerintahan yang selama ini terkesan acuh tak acuh kepada rakyat miskin, menjadi kultur option for the poors, not for the richEs only.

Bila republik ini masih menganut pemerintahan demokratis, seyogianya pemerintah mengedepankan kepentingan rakyat banyak, sebab kekuasaan mereka berasal dari, oleh dan untuk rakyat.

Bila hati dan telinga pemerintah atau DPR tidak terketuk dan tak tergelitik untuk memperhatikan nasib rakyat, maka akibatnya hanya ada dua kemungkinan. Rakyat akan terus menderita tanpa henti atau terpaksa "mati pelan-pelan". ***

Penulis adalah pengamat masalah sosial,alumnus STFT Widya Sasana Malang.

KEMBALIKAN KULTUR PERSAHABATAN!

dimuat pada SUARA PEMBARUAN DAILY , 31/10/2005
Kembalikan Kultur Persahabatan!
Oleh Pormadi Simbolon

RESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono di satu sisi memiliki modal utama yaitu kepercayaan rakyat, di sisi lain, seolah dikelilingi "tembok" pembantu (dari wapres hingga menteri dan mungkin level-level lebih bawah) yang mempunyai posisi politis, sosial, dan ekonomis yang lebih kuat dari Yudhoyono, dan selalu terjadi tarik menarik kepentingan saat mengambil keputusan. Itulah yang digambarkan oleh Herri Tjahjono dalam artikelnya "Presiden Yang Kesepian".

Dari tulisan tersebut, penulis mencium adanya hubungan persahabatan yang terganggu antara Yudhoyono-Kalla (Jusuf Kalla). Artinya, relasi antara kedunya dibatasi oleh sekat-sekat kepentingan politis, sosial, dan ekonomis dari salah satu diantara mereka dalam upaya pengambilan keputusan dalam mengatur tata hidup bersama bangsa ini.

Amat relevan dan menarik bila kita coba melihat ulang kultur persahabatan di negeri ini saat negeri ini sedang mengalami kesulitan berat. Mulai dari harga minyak yang mencapai US$ 70 per barel, subsidi sebesar Rp 113 triliun, APBN yang terancam bolong, defisit tak tertutupi yang mencapai Rp 23 triliun, rupiah dan ekonomi berada di ambang krisis seperti tahun 1998, sehingga pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar rata-rata di atas 100 persen.

Kerelevanan tersebut juga erat kaitannya dengan permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Mulai dari penyakit polio, flu burung, kenaikan kedua BBM periode 1 Oktober setelah kenaikan periode pertama pada bulan Maret yang lalu, Bom Bali II, dan baru-baru ini merebaknya kembali penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Kultur Persahabatan
Kultur persahabatan adalah peradaban antara orang yang satu dengan orang lain yang memperlihatkan dan berupaya memperlakukan orang lain sebagai sahabat. Maksudnya, dalam kultur persahabatan manusia diperlakukan sebagai sahabat agar "dia" dan "saya" sama-sama semakin memanusiawi secara sempurna, semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun batiniah.

Dengan demikian, suatu kultur persahabatan amat diperlukan dan dibutuhkan setiap orang dalam tata hidup bersama agar ia semakin menjadi lebih manusiawi. Sebab persahabatan mengandaikan bahwa manusia pada hakekatnya harus hidup bersama dengan manusia yang lainnya. Persahabatan menegaskan pula bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Bila manusia hidup sendirian maka ia akan semakin tidak memanusiawi.

Menurut Aristoteles, persahabatan amat perlu bagi siapapun dan kapan saja. Persahabatan merupakan keutamaan dan sangat dibutuhkan semua orang, entah kaya atau miskin, entah penguasa atau rakyat jelata, entah tua atau muda.

Aristoteles mengajarkan hal itu seperti tergambar dalam kutipan berikut ini, "Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choose to live without friends even if he had all the other goods. For in fact, rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seems to need friends... In poverty also, and in other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to fine actions; for them two go together they are more capable of understanding and acting" (Aristotle, Nichomachean Ethics, 1155, art. 1-15).

Soal persahabatan menjadi bidang penting dalam tata hidup bersama atau kehidupan politik. Dengan persa- habatan, orang dapat hidup berdampingan dengan damai, saling menolong, saling berbagi, saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Bahkan persahabatan itu mendobrak tembok-tembok pembatas relasi antar-manusia, seperti status dan kelas sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Itulah sebabnya Aristoteles menegaskan (Buku VIII-IX), jika dalam hidup bersama setiap orang adalah sahabat bagi yang lain sedemikian rupa, keadilan tidak diperlukan lagi. Tetapi jika setiap orang adalah adil, masing-masing harus menjalin persahabatan. Itu berarti persahabatan mengatasi keutamaan keadilan.

Aristoteles juga mengajarkan jika keadilan berkaitan dengan hal penataan hidup bersama, maka persahabatan tidak hanya mencakup apa yang ditawarkan keadilan, melainkan juga membuahkan kesetiakawanan, kebersamaan, kerukunan, kekerabatan, ketetanggaan, kekeluargaan, rasa senasib sependeritaan, seperjuangan dan hal lain yang luhur dan terpuji. Dengan kata lain, menurut Aristoteles, persahabatan itu adalah tata hidup bersama itu sendiri.

Di Indonesia
Di mana kultur persahabatan Indonesia? Sejauh pemberitaan di media massa, kultur persahabatan warga bangsa tercinta tampaknya pelan-pelan memudar. Kultur persahabatan yang merupakan warisan luhur nenek moyang kita lambat laun digantikan dengan kultur kekerasan alias gampang ngamuk, kultur tidak tahu malu atau hilangnya peran hati nurani, kultur hedonistik, konsumeristik dan instan. Hal itu tampak dari cetusan sikap, perilaku dan tindakan yang dipertontonkan oleh sejumlah warga bangsa ini.

Adanya perusakan sejumlah rumah ibadah, penyerangan terhadap rumah ibadah dan warga Ahmadiyah dengan tindakan anarkhisme oleh sekelompok orang merupakan contoh hilangnya kultur persahabatan.

Belum lagi sikap-sikap dan perilaku yang muncul pasca-kenaikan BBM. Tidak akuratnya pendataan penduduk miskin yang berhak mendapat dana kompensasi BBM dan adanya petugas pendata yang meminta bagian (dana kompensasi) sudah menunjukkan hilangnya kultur persahabatan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap dan tindakan pendata rakyat miskin yang memasukkan keluarga dekat sebagai penerima dana kompensasi BBM. Demikian juga sikap dan tindakan berbohong sejumlah anggota PNS golongan III ke atas yang ikut mendapat kartu miskin.

Selain karena kenaikan BBM, juga karena akibat pelayanan publik yang buruk dari birokrasi pemerintahan dan ulah para koruptor mencuri harta negara menyebabkan kehidupan rakyat di negeri ini semakin serba sulit. Hal itu dicirikan dengan bertambahnya dua kali lipat jumlah pengemis di perempatan jalan dan lampu merah di ibu kota dan pula bertambahnya jumlah penderita sakit jiwa. Betapa menderitanya rakyat yang hidup di negeri ini.

Lembaga peradilan sebagai penegak hukum ternodai oleh tindak mafia peradilan di lingkungan peradilan yang melibatkan semua aparat hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan pegawai peradilan.

Yang lebih fatal lagi adalah jika benar ada keretakan relasi persahabatan antara Yudhoyono-Kalla, keretakan itu akan menjadi racun yang bisa menggagalkan penataan hidup bersama dalam mengatur hidup bersama guna mengejar kesejahteraan bangsa dan negara secara efektif dan efisien.

Di tengah aneka persoalan bangsa dan aneka penderitaan yang dialami kebanyakan rakyat Indonesia pasca-kenaikan BBM, kultur persahabatan setiap warga bangsa ini diuji dan dimurnikan.

Kultur Persahabatan Sudah Terbukti dalam Sejarah. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hasil persahabatan efektif dari para bapa pendiri bangsa, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat dan masyarakat lainnya. Meskipun mereka berbeda latar belakang, agama, suku, ras dan antar golongan, namun mereka berhasil menjalin persahabatan secara efektif.

Demikian pula, bila para pemuda kita dari lintas suku, partai dan agama berhasil mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, tidak berlebihan jika dikatakan itu sebagai buah kultur persahabatan. Persahabatanlah yang mendorong para pemuda berseru bahwa mereka satu tanah air, bangsa dan bahasa yaitu Indonesia.

Sudah 60-an tahun Indonesia merdeka, 60-an tahun pula kita hidup bersama-sama, namun persahabatan di antara kita tampaknya bukannya semakin erat, namun pelan-pelan ia mulai terkalahkan oleh kepentingan primordial, sempit, egoistik dan perkara perut. Yang harus diupayakan bersama adalah mari kita mengembalikan kultur persahabatan itu. *

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta
Last modified: 31/10/05
Powered By Blogger