Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, April 06, 2006

BUDAYA MALU YANG PALSU

Budaya Malu yang Palsu
SUARA PEMBARUAN DAILY, 05 APRIL 2006
Oleh Liong Kwei Cun
ulianti, seorang warga Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, yang diduga terjangkit flu burung disembunyikan keluarga. Namun, Yulianti hingga Sabtu (11/3) tidak diketahui keberadaannya. Dia dicurigai menderita flu burung karena menderita demam dan batuk mirip dengan gejala penyakit mematikan itu (lih. www.sctv.co.id)

Namun, sampai sekarang belum diketahui entah kenapa pihak keluarga menyembunyikannya. Bocah 11 tahun ini merupakan adik Wahidi, pasien flu burung yang kini tengah diisolasi di Ruang Cempaka RSPI. Sang kakak sebelumnya sempat kabur dari rumah sakit itu, Jumat silam (10/3).

Bisa dua kemungkinan alasan mengapa keluarga menyembunyikan Yulianti. Kemungkinan pertama adalah karena rasa malu tidak memiliki uang untuk biaya pengobatan. Kemungkinan kedua adalah rasa malu terhadap tetangga karena penyakit flu burung.

Rasa Malu
Apapun alasannya, keluarga tersebut menyembunyikan anak yang sedang menderita sakit flu burung dan jelas keluarga jatuh pada himpitan rasa malu entah karena tidak punya uang atau karena takut dicemoohkan tetangga. Inilah budaya malu yang palsu alias rasa malu tidak sehat.
Demikian pula, kalau benar pendapat Wakil Kepala Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat (NTB) dr Komang Gerudug tahun lalu tentang busung lapar dan kurang gizi di daerahnya, maka semakin menegaskan bahwa budaya malu yang palsu dipaksakan untuk menutupi kemiskinan.
Menurutnya, munculnya kasus busung lapar dan kurang gizi di NTB karena ada budaya malu di kalangan orang tua untuk membawa bayi mereka yang kurus kering atau malah sudah busung lapar ke puskesmas (seperti dikemukakan Mahlil Ruby).

Berbeda halnya dengan budaya rasa malu yang ditampilkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Mereka merasa malu bila publik mengetahui bahwa penghasilan mereka dinaikkan. Rasa malu mereka semakin terasa diusik bila ada suara-suara publik yang memrotes atau menolaknya karena alasan rakyat sedang dijerat kemiskinan dan kelaparan. Konon kabarnya, kinerja para wakil rakyat akan semakin bermutu dan optimal bila penghasilan mereka dinaikkan, tetapi nyatanya tidaklah demikian. Mereka merasa malu tetapi kebijakan kenaikan penghasilan para wakil rakyat rencananya tetap dijalankan.

Fenomena budaya malu yang palsu sebenarnya sudah lama menyeruak di tengah masyarakat. Dengan amat jelas, budaya malu yang palsu itu sungguh membuat kita yang berakal budi sehat menjadi malu.

Sekelompok calon kepala daerah merasa malu bila harus menerima kekalahan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah tahun lalu. Pada pribadi yang tidak bisa menerima kekalahan, budaya malu itu ditampakkan wujudnya dalam bentuk kekerasan dan dan perilaku curang alias ketidakjujuran tampil ke permukaan.

Begitu pula, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi bahwa beberapa pejabat publik akan merasa malu bila belum memiliki rumah dan mobil mewah, harta bergerak dan tidak bergerak entah di pusat entah di daerah selama memegang jabatan di suatu instansi pemerintahan.
Bila jujur diakui, budaya malu yang palsu mengafirmasikan suatu sikap hidup tidak jujur. Sebuah ketidakjujuran terhadap eksistensi dan kehidupan manusia sebagai insan yang kodratnya harus memasyarakat. Ketidakjujuran terhadap kebutuhan akan keadilan dan kesejahteraan bersama sebagai makhluk sosial.

Bukankah manusia semakin memanusiawi bila hidup bersama dengan orang lain atau dengan kata lain manusia hanya bisa hidup bersama orang lain bila ada kejujuran mengakui adanya saling ketergantungan akan kebutuhan hidup?

Dampak Era Mondialisasi
Fenomena budaya malu yang palsu semakin bermunculan di era mondialisasi dan bisa jadi merupakan dampak dari era mondialisasi itu sendiri.
Era mondialisasi ikut ambil bagian menciptakan budaya malu yang palsu alias ketidakjujuran pada kenyataan hidup.

Di satu sisi, era mondialisasi selain membawa dampak kemiskinan, marjinalisasi dan ketertinggalan bagi negara yang lemah di bidang strategi ekonomi dan politik, tetapi juga mendorong orang mengikuti gaya hidup di negara maju yang karena ketidakjujurannya bisa terjerumus pada pola dan perikehidupan serba tanda (simbol) dan gaya, pola hidup konsumtif, fenomena jalan pintas, pergi ke mall dan aneka macam kesempatan dan lompatan sukses serba cepat.

Di sisi lain, era mondialisasi menantang kebanyakan orang untuk mengejar kemajuan dan kemakmuran dengan persaingan yang semakin ketat dan keras. Kompetisi tersebut terjadi antara negara-negara maju dengan negara-negara sedang berkembang, antara individu-individu yang memiliki kecakapan dengan mereka yang kurang mampu (baik skill maupun ekonomi).
Situasi persaingan ketat dan butuh kerja keras tersebut dapat mencondongkan sekelompok orang melakukan kecurangan dan menciptakan budaya malu yang palsu. Nilai kerja keras dan perjuangan terabaikan demi meniru pola hidup berbau mon- dialisasi.

Tren hidup dengan pola dan perilaku serba tanda dan lahiriah, pola hidup konsumtif dan fenomena jalan pintas sebenarnya merupakan dampak mondialisasi. Kecenderungan mengikuti pola hidup demikian logisnya akan mendorong perilaku menuju tindak korupsi, kolusi dan nepotisme untuk mengejar kesuksesan dan kekayaan secara instan. Tren tersebutlah tampaknya sedang melanda warga Indonesia.

Sebagian orang merasa malu bila hidup dalam kemiskinan, kelaparan dan menderita suatu penyakit, terlebih lagi bila hal itu diketahui orang banyak, karena dipandang sebagai aib dan memalukan di tengah hamparan panggung kehidupan.
Rasa malu yang palsu itu semakin menebal ketika pemikiran publik dikuasai cara pandang keliru terhadap mereka yang hidup dalam kemiskinan, yang menderita busung lapar dan penyakit flu burung (dan aneka penyakit lainnya).

Budaya malu yang palsu dapat pula kita saksikan pada kehidupan sekelompok pejabat publik. Pada dasarnya mereka sudah hidup berkecukupan dan dibiayai negara, tetapi masih tega-teganya melakukan tindak korupsi demi penumpukan harta kekayaan guna mengikuti tren hidup era mondialisasi.

Mereka merasa malu dan tertinggal bila tidak bisa mengikuti tren dan gaya hidup berbau mondialisasi seperti warga negara maju, yang memang sudah mampu dan maju dalam arti sejatinya.

Fenomena budaya malu yang palsu yang ditampilkan sebagian masyarakat miskin merupakan bentuk penghinaan dan penegasian nilai kejujuran dan kerja keras. Padahal, bila mereka jujur dan menyatakan situasi dan keadaan sebenarnya, pasti masih banyak orang yang berhati nurani sehat dan lurus, yang datang baik secara perorangan maupun lembaga guna menolong dan mengurangi penderitaan mereka.

Berbeda dengan fenomena rasa malu yang palsu yang dipertontonkan sekelompok oknum pejabat elite di negara ini. Mereka malu bukan karena melihat banyak rakyatnya yang miskin, lapar dan sakit-sakitan, melainkan karena nilai-nilai yang mereka kejar adalah nilai-nilai hidup yang superfisial, dangkal, dan penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan. Inilah fenomena budaya malu yang palsu para koruptor.

Memang begitu pahit bila kita coba menjalani hidup dengan penuh kejujuran dalam arti sejatinya di era mondialisasi sekarang. Kita bisa rugi sendiri dan disingkirkan dari pergaulan masyarakat banyak.

Selain itu nilai kejujuran dan kerja keras semakin tertindas oleh pemikiran kolektif yang keliru. Hanya dengan keberanian dan bantuan kekuatan adikorati (doa pada Tuhan), sekelompok masyarakat dan pada umumnya individu-individulah yang mampu mendobrak pikiran kolektif yang keliru, seperti yang dilakukan Sokrates atau para Nabi di jamannya.

Penulis adalah seorang karyawati swasta tinggal di Jakarta
Last modified: 5/4/06

NKRI, KONFLIK AGAMA DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945

NKRI, KONFLIK AGAMA
DAN SUMPAH SETIA PADA PANCASILA DAN UUD 1945
Oleh Pormadi Simbolon*

Konflik antar pemeluk agama, khususnya antar pemeluk agama Islam – Kristen dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seyogiyanya tidak berlarut-larut terjadi hingga dewasa ini bila aparatur negara dan masyarakat sungguh-sungguh setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab Pancasila dan UUD 1945 memang dimaksudkan para pendiri bangsa (the founding fathers) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari aneka ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika.
NKRI
Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya.

Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama.

Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam korridor hukum.

Pelaksana utama dan terutama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tersebut adalah aparat negara yaitu pelaksana tugas pemerintahan. Aparatur negara adalah perangkat pemerintahan meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semua lembaga tersebut saling terkait dan bekerja bersama-sama sesuai dengan bidangnya dalam menggapai tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia termasuk melindungi pemeluk agama-agama yang ada di dalamnya.
Konflik Agama Islam-Kristen
Konflik antar pemeluk agama khususnya Islam – Kristen terjadi tidak hanya di Indonesia. Namun dalam konteks NKRI, negara dalam hal ini pemerintah merupakan tameng perlindungan bagi segenap bangsa terutama warga pemeluk agama yang tertindas dan teraniaya.

Kenyataan menunjukkan, negara yang diwakili oleh pemerintah NKRI, relatif belum berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Hal ini terlihat dari perjalanan bangsa dimana konflik antara agama Islam – Kristen menimbulkan korban ketidakadilan.

Pada masa Orde Lama, konflik Islam – Kristen ditandai dengan pemberontakan DI/ TII/ NII, perdebatan konstituante, dan masalah penyiaran agama. Ada keinginan sebagian pemeluk agama untuk membentuk nusantara menjadi negara agama.

Pada masa Orde Baru, konflik agama diindikasikan dengan kebijakan pemerintah yang memutuskan SKB No 1/ 1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan pengrusakan gereja. Konflik tersebut menimbulkan korban baik secara fisik maupun batiniah bagi pemeluk agama yang tertindas.

Dewasa ini, di era “reformasi” konflik agama Islam – Kristen ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta dan amandemen UUD 1945, UU Pendidikan Nasional 2003, Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme dan terakhir penutupan paksa sejumlah bangunan gereja dan perumahan yang digunakan sebagai tempat ibadah. Konflik Islam – Kristen tetap terjadi secara terselubung dan bahkan secara terang-terangan dengan berbagai jalur yang memungkinkan.

Barangkali konflik agama antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak akan pernah berakhir (?), namun tugas negara tetap melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia terlepas dari apapun agama atau kepercayaannya.

Sepanjang sejarah, penanganan konflik antar pemeluk agama Islam – Kristen berada di tangan negara. Seturut era “reformasi”, kewenangan pembangunan bangsa di bidang agama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pemerintah Pusat disebutkan mempunyai kewenangan di bidang agama dan kewenangan itu tidak diserahkan ke pemerintah daerah. Tentu kebijakan ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.

Juga jelas sekali kalau kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, aparatur pemerintah pusat lewat kantor wilayah dan bawahannya seyogiyanya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penganiayaan dan penindasan. Sebab perlindungan tersebut adalah panggilan pemerintah sebagai aparat negara NKRI.
Sumpah Setia
Kita semua tahu, bahwa semua warga masyarakat NKRI harus setia dan taat dan teristimewa aparat negara (pegawai negeri sipil, TNI dan Polisi RI) harus mengangkat sumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945. Juga mereka bersumpah bahwa mereka mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan diri sendiri (PP No 32 Tahun 1980).

NKRI sudah 60 tahun merdeka. Enam puluh tahun pula kita semua membacakan dan mendengarkan Pancasila dan UUD 1945 ketika Upacara Bendera pada hari-hari besar negara. Yang lebih istimewa adalah aparat negara selalu diangkat sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya banyak aparatur negara masih berada pada tataran bersumpah setia “tentang” Pancasila dan UUD 1945 di mulut, namun belum “benar-benar” bersumpah setia dalam pelaksanaan tugas.

Ketidaksetiaan pada Pancasila dan UUD 1945dalam hidup bernegara, berbangsa dan bernegara terlihat dari adanya pemeluk agama yang tertindas, dan rumah ibadahnya dirusak dan dibakar, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidakadilan pemerataan pendapatan negara dan penegakan hukum yang relatif belum berjalan.

Jika kita tetap demikian maka tantangan terbesar adalah kelangsungan dan keutuhan negeri ini sebagai NKRI. Ancaman disintegrasi, dan terpecah-belah oleh konflik karena latar belakang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan akan selalu mengerogoti kita.

Namun bila kita masih menghendaki kelangsungan dan keutuhan NKRI maka tidak bisa tidak pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan taumpah darah Indonesia dari ancaman kekerasan, penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, pemanipulasian, pembodohan dan ancaman-ancaman lainnya. Untuk itu pewujudnyataan sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 masih harus tetap diusahakan bersama. Semoga.

*Penulis adalah pemerhati NKRI
Mandala: “Dari Medan Menuju Jakarta”
(sebuah pemaknaan)

Baru saja kita menyaksikan bersama, pesawat Mandala Boeing737-RI 091 mengalami kecelakaan (05/09/2005) yang menewaskan ratusan penumpang ditambah dengan sejumlah penduduk akibat tertimpa pesawat. Kecelakaan terjadi akibat gagal melakukan take-off, lalu jatuh, meledak, dan hancur berkeping-keping.
Konon, pesawat tersebut hendak mengadakan perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Amat bermakna jika kita coba merenungkan tragedi pesawat Mandala: “dari Medan menuju Jakarta.
Tragedi Mandala
Barangkali ada baiknya pemaknaan tragedi Mandala kita awali dengan mencermati unsur-unsur berikut ini: mulai dari pesawat Mandala, para penumpang, pilot dan para pembantunya dan akhirnya perjalanan dari Medan menuju Jakarta.
Pesawat Mandala merupakan suatu alat transportasi yang sedianya diharapkan dapat membawa penumpang dari Medan menuju Jakarta. Namun karena pesawat “tidak sehat” alias mengalami ketidakberesan maka pesawat gagal take-off dan berujung pada kehancuran. Artinya pesawat yang tidak layak terbang semestinya direparasi atau diperbaiki lebih dulu atau barangkalu perlu diganti dengan yang baru.
Lalu para penumpang pesawat, mereka adalah insan-insan yang beraneka ragam dilihat dari suku, agama, ras dan antargolongan. Kenyataan demikian nyata kita saksikan lewat media televisi dan surat kabar ketika berita kecelakaan pesawat tersebut dilaporkan.
Kalau kita mencermati dari segi etnologis para penumpang Mandala tersebut, maka kita akan tahu bahwa mereka terdiri dari etnis Batak, Jawa, Tionghoa, Aceh dan barangkali masih ada suku lainnya.
Yang lebih berkesan lagi, para penumpang memeluk agama yang berbeda antara lain agama Islam, Katolik, Kristen, Budha dan agama lainnya. Hal ini kita saksikan ketika televisi baik milik pemerintah maupun swasta menyiarkan dan menampilkan pemakaman para korban yang tewas. Para korban tewas beragama Islam dimakamkan seturut ajaran Islam. Demikian pula pemakaman korban tewas beragama Katolik atau Kristen dimakamkan secara Kristiani. Pemandangan mengharukan lewat televisi tersebut menunjukkan kemajemukan dan keberbedaan yang indah.
Lalu, pilot bersama para pembantunya merupakan insan-insan kepercayaan pemilik Mandala dan otomatis oleh para penumpang pula. Para penumpang memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka sepenuhnya kepada pilot dan para pembantunya selama dalam perjalanan menuju tempat tujuan. Pilot menjadi tokoh kunci dan penting selama dalam perjalanan. Ia mengendalikan pesawat seturut ilmu penerbangan yang ia pelajari. Ia juga sadar bahwa pencapaian tujuan bersama tercapai dengan baik bila penumpang mau bekerja sama dengan dirinya. Misalnya para penumpang harus mematikan alat-alat elektronik selama perjalanan seperti Handphone (telepon selular) agar perjalanan pesawat tidak terganggu.
Selanjutnya unsur perjalanan dari Medan menuju Jakarta. Medan merupakan titik keberangkatan. Jakarta menjadi titik tujuan. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta ditempuh dengan pesawat. Gambaran perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah sebuah pergerakan dari satu menuju titik lain, dari suatu keadaan menuju keadaan lain, dari keadaan lama menuju suatu keadaan baru. Pencapaian tujuan dapat tercapai dengan baik bila pilot dan para pembantunya memastikan dan menjamin bahwa pesawat akan dapat terbang dan atau siap mengadakan perjalanan. Namun bila pilot dan para pembantunya sembrono dan para penumpang keras kepala misalnya, maka pesawat akan gagal take-off, lalu jatuh dan meledak, akhirnya hancur berkeping-keping.
Dari Medan Menuju Jakarta
Setelah mencermati beberapa unsur peristiwa tragedi Mandala tersebut, saya melihat ada kesamaan antara perjalanan Mandala yang berangkat dari Medan menuju Jakarta dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berangkat dari suatu keadaan ketertinggalan dan sedang kiris multidimensi menuju suatu keadaan kemajuan negara yang demokratis, adil dan sejahtera.
Pesawat Mandala itu adalah negara kita. Para penumpang yang majemuk dan pluralis merupakan kenyataan warga NKRI. Pilot dan para pembantunya mewakili para pemimpin kita bersama para pembantunya. Perjalanan dari Medan menuju Jakarta adalah perjalanan NKRI dari keadaan miskin menuju keadaan makmur.
Dalam perjalanan tersebut para warga negara telah memercayakan keselamatan dan keamanan diri mereka kepada pemerintah bersama aparatur lainnya. Itu berarti para warga negara menyerahkan hak untuk pemeliharaan dan pengayoman kepada penyelenggara pemerintahan yang mereka percayai.
Selain itu, para warga NKRI harus mendukung pemerintah dalam melaksanakan programnya dalam kerangka pencapaian tujuan bersama. Artinya ada kerjasama antara warga NKRI dengan pemerintahnya.
Sebaliknya pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogiyanya memastikan “kesehatan” negara sebelum mengadakan perjalanan. Pemerintah semestinya memastikan apakah semua warga NKRI sudah terjamin keselamatan dan keamanannya.
Siapapun yang menjadi “pilot” NKRI, ia harus menjamin keselamatan dan keamanan warga negara, seturut dasar dan konstitusinya (Pancasila dan UUD 1945). Ketetapan itu dirumuskan para bapa bangsa (the founding fathers) untuk memastikan “kesehatan” NKRI.
Menjadi relevan apa yang pernah dikatakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa kita tidak usah takut akan siapa yang menjadi “pilot” atau peminpin negeri ini, asal ia memelihara dan menjamin kebebasan pers, kebebasan akademik, kebebasan berkumpul dan berserikat, (bdk. Saydan, 1999: 3) termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Tentulah, tak seorangpun dari warga ini menginginkan NKRI mengalami tragedi Mandala. Pesawat Mandala tidak sampai ke tujuan karena pesawat “tidak sehat” alias dalam keadaan tidak layak terbang. Harapan kita sebagai warga, semoga perjalanan NKRI “dari Medan menuju Jakarta” berhasil dengan selamat sehingga negara yang demokratis, adil dan sejahtera terwujud.

Penulis adalah alumnus STFT Malang

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL

PNS: BUKAN PELAYAN PARPOL
Oleh Pormadi Simbolon

Baru-baru ini Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla dalam pidato politiknya saat peringatan ulang tahun ke-41 Partai Golkar, 26 Nopember 2005 yang lalu,, mewacanakan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) terjun ke kancah perpolitikan nasional. Latar belakang wacana tersebut rasional karena PNS yang rata-rata memiliki SDM (sumber daya manusia) yang lebih baik daripada kalangan swasta harus diberi kesempatan berkiprah dalam dunia politik.

Selain itu, banyak intelektual di jajaran birokrasi yang sangat layak untuk terjun dalam percaturan politik praktis. Pengalaman kebirokrasian, pendidikan dan pelatihan yang tertata secara sistematis menjadi kelebihan tersendiri bagi para insan PNS.

Pernyataan Jusuf Kalla yang adalah Ketua Umum Golkar itu menuai protes. Wacana yang berciri Orde Baru itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI).

PNS dan Kedudukannya
PNS adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian).

Dalam Undang-undang yang sama ditegaskan bahwa PNS bekedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.

Dalam sejarahnya, PNS membentuk organisasi KORPRI bertujuan sebagai wadah penyaluran aspirasinya. Namun wadah tersebut pernah digunakan sebagai alat atau kendaraan politik untuk meraih kemenangan suara dalam Pemilu pada masa Oede Baru yang lalu.

Dari pengalaman masa lalu yang mencoreng nama baik KORPRI itu, para insan PNS menyadari perlunya kembali ke jati diri dan semangat awalnya yaitu sebagai abdi negara dan masyarakat tanpa diskriminasi. Hal itu dirumuskan dalam Panca Prasetya KORPRI dalam Munas yang diadakan pada tahun 1999, yang berbunyi: (1) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (2) Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. (3) Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. (4) Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia dan 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas.
Pelayan Semua, bukan Pelayan Parpol
Bila dilihat dari jati bdirinya, para insan PNS adalah pelayan untuk semua warga negara sesuai dengan bidang masing-masing tanpa diskriminasi atas suku, agama, ras dan golongan. Pegawai Negeri yang terdiri dari Pegawai Sipil, anggota TNI dan POLRI, akhir-akhir ini kembali diajak untuk terjun ke lautan politik praktis.

Berangkat dari pengalaman sejarah, ajakan kembali para PNS memasuki dunia politik tidak berlebihan bila disebut sebagai langkah mundur dan sebuah strategi yang tidak populis dan tidak menjanjikan lagi.

Memperhatikan kenyataan pada masa Orde Baru, KORPRI sebagai pemersatu insan PNS malah mengalami eksistensi yang tidak menguntungkan karena fungsi dan tujuan semula sebagai wadah mempersatukan anggotanya dan menyukseskan program pembangunan nasional serta mewujudkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pegawai Republik Indonesia berubah menjadi alat atau kendaraan politik Golongan Karya demi meraih kemenangan dalam Pemilu pada waktu itu. KORPRI menjadi milik sekelompok masyarakat dengan aspirasi politik tertentu saja, dan lalu mengakibatkan pelayanan publiknya menjadi diskriminatif. Apakah KORPRI mau kembali jatuh kepada pengalaman masa lalu?

PNS yang berjumlah kira-kira 3,7 juta orang dan bergerak di birokrasi tersebut memang merupakan aset SDM yang patut diperhitungkan Parpol dalam merebut suara rakyat dan berkampanye dalam Pemilu. Namun PNS bisa menjadi batu sandungan alias penghambat pelayanan publik secara adil dan merata bila terjun kembali ke dunia politik.

Ajakan kembali PNS terjun ke dunia politik jelas tidak relevan lagi. Hukum positif yang sudah ada yaitu UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 jelas-jelas melarang PNS menjadi anggota Parpol atau pengurus Parpol dan justru dengan tegas mau menarik diri dari dunia politik praktis.

Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2002 dikatakan bila ada PNS yang ingin menjadi anggota Parpol harus keluar dari PNS.

Sangat ironis dan tidak relevan memang, bila wacana penarikan PNS untuk terjun ke kancah perpolitikan nasional digulirkan kembali di era reformasi dan pasca reformasi. Sejak tahun 1998 sudah dikumandangkan bahwa PNS harus menjadi insan pelayan publik dan abdi negara, bukan mendua di tengah kepentingan umum dan kepentingan partai politik.

Semangat reformasi yang begitu indah didengar dan digembar-gemborkan belum lagi terwujud sepenuhnya selama 7-8 tahun terakhir, suatu ajakan untuk kembali ke “semangat” Orde Baru datang menggoda. Di tengah proses perwujudan semangat reformasi dan upaya pemerintah mereformasi birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, melakukan pelayanan publik secara prima tanpa diskriminasi, membangun sikap netral dalam politik demi mengayomi bangsa Indonesia, di situ pulalah muncul sebuah semangat lama yang ditentang insan-insan reformis. Ialah semangat penarikan kembali para insan PNS terjun ke dunia politik dan jelas-jelas tidak sehat bagi instansi birokrasi dan pemerintahan.

Citra PNS yang sering diidentikkan sebagian orang sebagai pelaku tindak korupsi harta negara secara pelan-pelan sedang proses menuju perubahan ke citra PNS yang bersih dan berwibawa, di saat itu pulalah PNS hendak dibawa kembali kepada keadaan yang semakin memperburuk citra PNS itu sendiri. Dengan masuknya para insan PNS ke dunia politik, itu berarti mereka harus berperan ganda dimana dua kepentingan yang saling berbeda harus mereka lakoni.

Yang paling mendasar dari jati diri para insan PNS adalah kedudukannya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara yang hanya menjalankan kebijakan dan keputusan yang ditetapkan dalam undang-undang kenegaraan yang sah, entah siapapun pimpinan pemerintahan yang sah pula dan pengganti-penggantinya. Jadi para insan PNS beserta wadahnya KORPRI, bukanlah pelayan Parpol tertentu atau Golongan Karya versi Orde Baru tetapi pelayan semua dan diperuntukkan bagi semua warga negara dan masyarakat Indonesia.


Penulis adalah insan PNS, tinggal di Jakarta
Powered By Blogger