Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia. Tampilkan semua postingan

Kamis, Desember 17, 2009

AGAR PANCASILA BENAR-BENAR MENJADI RAHMAT

Pada 1 oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan tersebut sudah memasuki yang ke-34. Apakah Pancasila yang sakti itu sudah menjadi rahmat bagi Indonesia?
Pancasila sebagai dasar negara secara nyata menjadi jaminan kemerdekaan dan kesamaan kedudukan setiap warga negara. Pancasila sekaligus juga sebagai ideologi nasional merupakan penemuan penting yang berperan mempertemukan semua kepentingan lintas golongan, suku, agama dan ras di negeri ini.
Kita yakin dan sadar serta rasakan peran pemersatu Pancasila pada masa pra-kemerdekaan hingga pada masa sekarang. Karena Pancasila, para pendahulu kita berhasil mengalahkan ideologi komunisme, chauvenisme keagamaan dan etnis, liberalisme dan individualisme serta arogansi mayoritas terhadap minoritas.

Alat kekuasaan?

Meskipun demikian, Pancasila menghadapi berbagai tantangan, seperti upaya penentangan, upaya penyelewengan, upaya perlawanan bahkan upaya penggantiannya dengan ideologi bernafaskan keagamaan. Sejak jaman Orde Lama hingga jaman Orde Reformasi, Pancasila terkesan di permukaan lebih dominan sebagai alat pemanis bibir penguasa.
Pada Orde Lama, Pancasila sebagai dasar negara ditafsirkan bersifat sosialis diktator. Pada Orde Baru, Pancasila diarahkan ke kutub kapitalisme-otoritarian, dan pada Orde Reformasi, makna Pancasila semakin kabur dan berwarna abu-abu di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat majemuk.
Pasca reformasi 1998, Pancasila mengalami “desakralisasi”. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai Ketuhanan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan sosial terkesan semakin tidak jelas alias mengambang. Negara ini akan dibawa kemana, kita tidak dapat melihatnya dengan jelas. Oleh karena itu banyak kalangan menyerukan agar reposisi dan revitalisasi Pancasila segera dilakukan mengingat pentingnya mencari jiwa dan jati diri bangsa dalam mempertahankan eksistensi dan mencapai kesejahteraan umum bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karakteristik bangsa Indonesia?
Muncul pertanyaan, apakah nilai-nilai Pancasila pernah benar-benar mendarah-daging dalam jiwa bangsa Indonesia? Apakah Pancasila sudah benar-benar merupakan karakteristik bangsa Indonesia?
Menurut mata pelajaran sejarah di sekolah dewasa ini, dalam peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965, Pancasila dikatakan berhasil ditegakkan dengan menumpas gerakan komunisme. Panglima Kostrad saat itu, Mayjen Soeharto mengambil alih pimpinan TNI-AD dan menumpas pemberontakan yang dilakukan komunis (Partai Komunis Indonesia,PKI) pada 1 Oktober 1965. Soeharto berhasil. Upaya PKI merebut kekuasaan negara gagal. Rakyat sadar dan tahu bahwa penculikan para pejabat teras TNI-AD didalangi PKI. Secara spontan, rakyat menyerukan dan
menuntu supaya PKI dan Ormas-ormasnya dibubarkan.
Lalu berdasarkan Surat Keputusan Menteri/ Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966) pada tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Menurut Asvi Warman Adam, penetapan ini bermasalah secara hukum dan substansial. Apa arti kesaktian yang dilekatkan pada Pancasila? Apakah Pancasila itu sakti atau tidak, kita tidak tahu (http://www.detik.com/ 28 september 2009).
Berangkat dari peristiwa 1 Oktober 1965 tersebut, Pancasila sebagai alat politik berhasil mengalahkan bahaya komunisme. Kalau kita mengamati pelaksanaan nilai-nilai budi pekerti Pancasila pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, maka muncullah berbagai pertanyaan. Apakah kita bisa mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila sertamerta menjadi karakteristik bangsa Indonesia? Tidakkah kelihatan bahwa Pancasila masih sebatas simbol idologi politik dan syarat eksistensi negara saja?
Bila kita coba membandingkan antara nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah/mufakat dan keadilan sosial dengan berbagai karakter dan budaya sebagian pejabat publik dan kelompok masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, maka akan terlihat adanya jurang yang dalam antara pelaksanaan ideologi Pancasila dan praktek hidup sehari-hari.
Di bidang legislatif misalnya, sikap tokoh politik bermusyawarah kini dinilai semakin buruk dan lebih mengedepankan voting. Ingat soal voting impor beras (Kompas.com 24 Januari 2006 dan voting soal kenaikan harga BBM, Kompas.com 25 Juni 2009). Demikian juga dalam menerapkan keadilan berbagai bidang, termasuk penghargaan hak asasi manusia bagi seluruh rakyat dan pemenuhan kebutuhan rakyat, peran negara makin tidak dirasakan.
Adanya kerusakan moral di hampir semua bidang terlihat dari tindakan tidak terpuji seperti penyalahgunaan uang, jabatan, kekuasaan dan fasilitas negara dalam berbagai bidang demi kepentingan kelompok atau pribadi. Parahnya korupsi, praktek homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya), tindakan kekerasan, kehancuran lingkungan dan peradaban nasional, memperlihatkan bahwa nilai-nilai luhur Pancasila belum menjadi karakter setiap warga negara Indonesia.
Pantas direfleksikan, apakah Pancasila sudah menjadi rahmat bagi Indonesia atau sekedar satu syarat bagi adanya NKRI? Pancasila adalah harga mati, demikian semboyan Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini saat kampanye Pemilihan Umum 2009 (Kompas 21 Juni 2009). Namun, apakah semboyan itu sebatas di bibir dan pemberitaan media massa? Kuntowijoyo, yang pernah menjadi dosen sastra dan budaya di Universitas Gajamada Yogyakarta berpendapat: “Pancasila seyogiyanya menjadi rahmat bagi Indonesia. Artinya, Pancasila bukan semata-mata sebagai alat seleksi yang pro dan kontra, melainkan juga suatu mekanisme yang mengintegrasikan, memasukkan kepentingan semua golongan” (Kuntowijoyo, dalam Kajian Agama dan Masyarakat, Depag RI 1992:304).
Upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila
Kita sangat menghargai upaya pemerintahan Orde Baru untuk menata kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila. Pancasila diupayakan sebagai landasan untuk menggapai kesejahteraan publik. Pemerintah menginstruksikan supaya Pancasila dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Bahkan untuk mencegah bahaya laten komunis, Pemerintah melaksanakan progran penataran pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) serta penataran kewaspadaan nasional (Tarpadnas). Namun kita tidak setuju, kalau pada akhirnya Pancasila hanya menjadi alat pembela kepentingan kekuasaan, tanpa adanya keteladanan kepemimpinan, dan tanpa memperhitungkan kesejahteraan rakyat banyak. Jelas sekali nilai-nilai Pancasila belum menjadi jiwa dan jati diri bangsa Indonesia, apalagi menjadi rahmat bagi Indonesia.
Pilihan Pancasila sebagai dasar negara bagi bangsa Indonesia adalah melalui proses yang lama dan panjang. Para pendiri bangsa (founding fathers) merumuskan Pancasila itu dari budaya dan nilai-nilai yang diwariskan para leluhur bangsa. Kita sudah merdeka kurang lebih 64 tahun dan 34 tahun peringatan Hari Kesaktian Pancasila, selama itu pula penghayatan Pancasila mengalami pasang surut. Pada masa sekarang, penghayatan nilai-nilai Pancasila makin lama, makin kurang diminati. Dibutuhkan suatu terobosan agar nilai-nilai Pancasila dapat menjadi karakteristik bagi setiap warga.
Menurut ahli filsafat proses, Alfred North Whitehead, proses pembentukan suatu nilai agar menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat membutuhkan suatu proses yang panjang. Proses suatu nilai menjiwa-raga berlangsung melalui 4 tahap. Tahap pertama merupakan proses penerimaan dan penyadaran adanya nilai. Tahap kedua, nilai itu diolah dan digarap. Tahap ketiga, proses perwujudan dan pemenuhan nilai itu dalam diri. Terakhir tahap keempat merupakan proses pengakuan dan penetapan nilai-nilai sebagai karakteristik dan identitas diri. (bdk. P. Hardono Hadi, dalam Pustaka Filsafat dan Teologi,1995:84)
Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi pilihan nilai-nilai dominannya (defining characteristics-nya). Kalau Pancasila dikehendaki benar-benar hidup, haruslah menjadi bagian integral dari masing-masing manusia Indonesia yang berusaha untuk semakin mengkonkretkan di kehidupan harian. Namun, pertama-tama, nilai-nilai Pancasila ini diinternalisasikan bagi setiap pegawai negeri sipil, TNI/POLRI, bahkan juga bagi semua calon pegawai di pemerintahan (birokrasi) yang pada akhirnya diteladani rakyat banyak. Penghayatan dan pengamalan Pancasila seyogiyanya dimulai di lingkungan pemerintahan secara keseluruhan. Dengan penginternalisasian nilai-nilai Pancasila yang dimulai dari lingkungan pemerintahan, maka pelan-pelan menetes ke lingkungan masyarakat umum, dan Pancasila akan menjadi rahmat bagi Indonesia. Pancasila menjadi rahmat bagi Indonesia berarti nilai-nilai kehidupan berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bermusyarah dan bermufakat, serta berkeadilan sosial semakin dirasakan semua warga. Semoga. (Pormadi Simbolon)

Jumat, Agustus 24, 2007

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Pormadi Simbolon

"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.


Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.


Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".


Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?

Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?

Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)

Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.

Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.

Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)

Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.

Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).

Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).

Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.

"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta
Powered By Blogger