Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label dialog agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dialog agama. Tampilkan semua postingan

Selasa, Februari 07, 2012

Saya Menghormati Iman Anda, tapi Hormati jugalah Imanku

Saya mengikuti beberapa milis bernuansa lintas keagamaan, antara lain mailing list "islam-kristen" dan "hakekat_ku". Di sana banyak anggota milis saling menyerang/mendebat. Yang muslim menyerang/mendebat iman kristiani, sebaliknya yang kristiani menyerang/mendebat iman muslim.

Perdebatan itu pastilah tidak menemukan titik temu, karena memang berrbeda pandangan teologisnya. Akhirnya, timbul sikap merendahkan iman yang lain.

Menurut saya, bagi yang beriman kepada Tuhan menurut agama Islam, biarkanlah mereka menghidupi imannya. Demikian juga, bagi yang beriman kristiani, biarkanlah mereka menghidupi imannya.

Jadi prinsipnya, saya menghormati iman anda, tapi hormati jugalah imanku.

Menurut saya, milis baik digunakan berdialog pengalaman hidup iman kita masing-masing dalam hidup sehari-hari, baik menurut Islam maupun kristiani. Kita tidak perlu mendebat, cukup menghormati dan mengapresiasinya.

Dengan demikian, kita makin menemukan hakekat kita sebagai manusia yang manusiawi, menghargai kemanusiaan kita. Semoga. Amin
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, Mei 09, 2008

KETIKA ANTAR-UMAT BERAGAMA BERSAHABAT

(ditulis 2005 lalu)

Oleh Pormadi Simbolon

Pada Hari Hari Raya Natal dan Raya Idul Fitri yang lalu, persahabatan sejati terbukti menembus sekat-sekat pembatas relasi di antara warga yang berbeda agama dalam tata hidup bersama bangsa ini. Persahabatan antar-umat beragama (baca: antar umat yang berbeda agama) tidak terpatahkan oleh perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Sebab persahabatan adalah relasi manusia dengan sesama manusia yang dilandasi kasih sayang (cinta kasih).

Kehadiran Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono beserta Ibu dan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni beserta Ibu pada Perayaan Natal Nasional Umat Kristiani Tingkat Nasional (27/12/2005) lalu merupakan salah satu bukti nyata bahwa persahabatan antar-umat beragama dalam tata hidup bersama sangat ampuh melampaui perbedaan yang ada. Persahabatan sejati tidak mengenal pengkotak-kotakan atau pemecahbelahan sesama.
Persahabatan anta-umat beragama memang belum sepenuhnya seperti yang diharapkan dalam landasan idiil bangsa yaitu Pancasila. Namun hubungan persahabatan antar-umat beragama yang sudah berjalan dan sedang diusahakan semakin tampak ke permukaan patut dipuji dan dikemukakan.


Saling Memberi Ucapan Selamat


Bila kita coba mengelilingi jalan-jalan di Ibukota Jakarta, maka kita dapat menyaksikan spanduk berisi ucapan SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2006 terpampang di pagar pembatas jalanan maupun pada dinding bangunan kota. Yang lebih menarik, ucapan tersebut tidak hanya datang dari organisasi massa atau partai nasionalis, tetapi juga dari organisasi massa atau kelompok masyarakat bernafaskan Islami seperti Nahdlatul Ulama.
Penulis amat terkejut bercampur bahagia, ketika penulis menerima ucapan Selamat Natal dari sahabat-sahabat beragama Islam melalui SMS, e-mail, milis group dan ucapan langsung saat bertemu. Bila anda bergabung dalam miling list seperti group pluralitas ICRP dan group filsafat, maka di sana anda akan dapat menyaksikan orang-orang yang berbeda latar belakang agama dan suku saling memberi ucapan selamat. Pada Hari Natal yang lalu, mereka yang beragama Islam memberi ucapan Selamat Natal. Demikian juga pada Hari Raya Idul Fitri sebelumnya, mereka yang beragama Kristen/ Katolik memberikan ucapan Selamat Idul Fitri atau Selamat Hari Lebaran.

Sungguh indah, ternyata latar belakang agama ataupun suku tidak dapat mematahkan semangat persahabatan pada kebanyakan warga bangsa ini. Lebih indah lagi, karena dalam ucapan selamat itu disertai permohonan maaf, “doa” dan “harapan” agar damai selalu menyertai persahabatan itu.

Sikap Berempati


Menjelang Natal 25 Desember 2005 lalu, Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah menawarkan gedung sebagai tempat Perayaan Natal kepada umat Kristiani yang tidak lagi memiliki gedung tempat ibadah yang konon digusur atau dirusak karena tidak mempunyai surat ijin pembangunannya dan atau karena umatnya berjumlah sedikit. Sungguh sebuah empati dari seorang tokoh umat Muslim terhadap umat Kristiani.
Demikian pula, ketika Perayaan Natal sedang digerogoti ancaman bom atau gangguan lainnya, pimpinan Banser NU mengerahkan sejumlah besar anggotanya ke tempat-tempat ibadah umat Kristiani untuk ikut menjaga keamanan dan ketenteraman umat dalam merayakan Natal. Berkat bantuan penjagaan keamanan tersebut Perayaan Natal pun dapat berlangsung dengan damai dan hikhmad.


Sikap mau berempati demikian sungguh merupakan cetusan kepedulian dan persahabatan. Banyak Pemimpin Umat Muslim ikut merasakan kecemasan umat Kristiani setiap kali merayakan Natal dalam beberapa tahun belakangan ini.

Perbedaan itu Sendiri Yang Memungkinkan


Konteks dunia hidup manusia (man’s lifeworld) itu sendiri yang memungkinkan setiap orang membangun persahabatan sejati. Dalam persahabatan, hubungan “aku” dan “engkau” menemukan pengungkapan konkritnya. Dalam hubungan semacam ini tidak ada lagi “ia” atau “mereka”. Dengan kata lain, tidak ada lagi orang ketiga, orang lain atau orang yang dipandang di luar hubungan “aku” dan “engkau”.

Dalam persahabatan, “engkau” tidak lagi sebagai pribadi “lain” yang berbeda dari aku, melainkan menjadi “aku yang lain” (alteritas aku) yang berbicara kepadaku. Kesadaran mengenai “aku yang lain” atau pribadi lain sebagai aku yang lain diperlukan justru agar aku semakin menjadi aku sejati. Aku sejati adalah aku yang bukan aku egois melainkan aku subyek. Aku egois adalah aku yang bertindak demi dan untuk aku sendiri. Tindakan semacam ini jelas menyisihkan pribadi lain, menindas kepentingan orang lain, menegasi dan menyangkal keberadaan perbedaan yang dimiliki orang lain (bdk. :Riyanto, 2005:88)


Karena orang lain adalah “aku yang lain”, aneka pengalaman kegembiraan, harapan, penderitaan dan kecemasannya adalah kegembiraan, penderitaan, harapan, dan kecemasanku sendiri. Segala macam bentuk perlakuan kepadanya identik dengan segala macam perlakuan terhadapku.
Di sinilah letak persahabatan sejati yaitu ketika “aku yang lain” justru memperkaya aku, dan menjadi karunia bagiku, bukannya menjadi ancaman bagiku. Artinya “ke-lain-an” orang lain yang berbeda dari aku atau aku yang berbeda dari orang lain justru saling melengkapi dan meneguhkan kesejatian kemanusiaan kita.


Sebenarnya, pluralitas agama, suku, ras dan golongan warga bangsa dan perbedaan yang menyertainya justru sangat mendukung dan memungkinkan terjadinya persahabatan sejati. Bila kita bersahabat hanya dengan orang yang se-agama, se-suku, se-ras, dan se-golongan, apakah kelebihan kita sebagai makhluk berakal budi dari hewan atau binatang? Bukankah hewan atau binatang yang tidak berakal budi mampu juga melakukan hal yang sama?


Bila kita coba lihat, sebenarnya upaya membangun persahabatan itu terus diperjuangkan oleh semua orang yang berkehendak baik demi terciptanya tata hidup bersama yang sehat dan demi masa depan bangsa Indonesia yang damai, sejahtera dan bermartabat.


Teladan persahabatan itu dapat kita saksikan dalam sejarah perjuangan bangsa. Para bapa pendiri bangsa yang berbeda agama, suku, ras dan golongan mampu meletakkan landasan bangsa yaitu Pancasila hanyalah karena ada persahabatan sejati.


Pada hari Raya Idul Fitri yang lalu, sejumlah umat Gereja Katolik/ Kristen di ibu kota menyampaikan ucapan SELAMAT IDUL FITRI lewat spanduk yang dibentangkan di atas jalanan di depan gedung gereja. Para pemimpin Gereja juga menyampaikan ucapan selamat kepada para pemimpin umat muslim entah lewat kartu, SMS, email, milis group maupun telepon. Demikian juga pada Hari Natal Desember lalu, ucapan selamat berdatangan dari umat Muslim kepada umat Kristiani.


Kehadiran Presiden RI dan Menteri Agama RI yang beragama Islam pada perayaan Natal Nasional Umat Kristiani merupakan teladan peneguhan persahabatan antar-umat beragama. Hal ini semakin relevan terlebih karena sejumlah umat yang berbeda agama sempat bingung pasca keluarnya Fatwa MUI beberapa bulan yang lalu, yang mengharamkan mereka yang menghadiri Perayaan Natal Umat Kristiani.


Tahun 2006 adalah tahun harapan bagi kita untuk memupuk persahabatan sejati dan menyebarkan keindahan persahabatan itu di tengah warga bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Tentu ajakan ini berlaku bagi semua orang yang berkehendak baik dan untuk menciptakan tata hidup bersama yang sehat, damai dan bermartabat. Amin

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang,
Tinggal di Jakarta

Jumat, September 14, 2007

PERNYATAAN GEREJA KATOLIK TENTANG HUBUNGAN DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTIANI

PERNYATAAN GEREJA KATOLIK TENTANG HUBUNGAN DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTIANI


(Sumber: R. Hardawiryana, SJ (penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II, Dokpen KWI, Obor, 1993)


Pengantar :


Kemajuan dan kedewasan cara pikir dan cara pandang suatu agama atau kelompok masyarakat akan terlihat dari cara pikir dan cara pandang mereka terhadap agama atau masyarakat lain. Pada hakekatnya dan yang berlaku universal cara pikir atau cara pandang yang memandang agama atau kelompok sebagai sesama penghuni dunia dan saling menghormati merupakan salah satu cara pikir dan cara pandang maju dan dewasa.


Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (NA, 3)


Berikut ini dari pernyataan Gereja Katolik tentang hubungan dengan agama-agama bukan kristiani.


1. Umum. Semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi (Kis 17:26). Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir yakni Allah, yang penyelenggaraanNya, bukti-bukti kebaikanNya dan rencana penyelamatanNya meliputi semua orang (Keb 8:1; Kis 14:17; Rom 2:6-17; 1Tim 2:4). (Nostra Aetat [NA]e, art. 1)

2. Pandangan terhadap Hinduisme dan Budhisme. Gereja Katolik tidak menolak yang dalam agama-agama itu (hinduisme dan budhisme) serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran yang menyinari semua orang. Namun Gereja Katolik tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh. 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (2Kor 5:18-19).
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta peri hidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. (NA, art.2)

3. Pandangan terhadap Islam. Gereja juga menghormati umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan suka rela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormatiNya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria BundaNya yang tetap perawan, pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

MEMANG BENAR, DI SEPANJANG ZAMAN CUKUP SERING TELAH TIMBUL PERTIKAIAN DAN PERMUSUHAN ANTARA UMAT KRISTIANI DAN KAUM MUSLIMIN. KONSILI SUCI MENDORONG MEREKA SEMUA, SUPAYA MELUPAKAN YANG SUDAH-SUDAH, DAN DENGAN TULUS HATI MELATIH DIRI UNTUK SALING MEMAHAMI, DAN SUPAYA BERSAMA-SAMA MEMBELA SERTA MENGEMBANGKAN KEADILAN SOSIAL BAGI SEMUA ORANG, NILAI-NILAI MORAL MAUPUN PERDAMAIAN DAN KEBEBASAN. (NA, 3)

4. Pandangan terhadap Yahudi. Berangkat dari kenangan ikatan/ pusaka rohani antara umat Kristiani dan bangsa Yahudi, Konsili suci ini bermaksud mendukung dan menganjurkan saling pengertian dan saling penghargaan antar keduanya, dan itu terwujudkan terutama melalui studi Kitab Suci dan teologi serta dialog persaudaraan. (NA, 4)

5. Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi. “Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah” (1Yoh 4:8). Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktek, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa.

MAKA GEREJA MENGECAM SETIAP SIKAP DISKRIMINASI ANTARA ORANG-ORANG ATAU PENGANIAYAAN BERDASARKAN KETURUNAN ATAU WARNA KULIT, KONDISI HIDUP ADATU AGAMA, SEBAGAI BERLAWANAN DENGAN SEMANGAT KRISTUA. (NA, 5)

Pernyataan Gereja Katolik ini inklusif tanpa melukai atau merugikan kepentingan agama lain. Gereja Katolik juga tidak menjadi kehilangan identitasnya sebagai pengikut Kristus ketika menjalin kerja sama dengan penganut agama lain dalam menggapai perdamaian dan kebebasan serta kebaikan bersama.

(Disarikan oleh Pormadi Simbolon, mantan frater, staf pada Subdit Lembaga Agama Katolik, Ditjen Bimas Katolik, Departemen Agama RI).

Senin, April 24, 2006

“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006

“ROH” PERATURAN BERSAMA MENAG DAN MENDAGRI 2006
Oleh Pormadi Simbolon

Peraturan Bersama Menteri (PBM) oleh Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat sudah ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2006. Salah satu “roh” atau semangat mendasar yang penting dipegang oleh semua pihak, menurut hemat penulis adalah poin “h” pada bagian Menimbang, yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.

PBM tersebut dalam seluruh prosesnya (10 putaran), materi rumusan bab dan pasal digarap langsung oleh semua unsur majelis agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha dari draf awal sampai rumusan akhir. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator.

Kita patut menyambut baik produk PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 ini dengan sikap mengedepankan “roh” kerukunan umat beragama menuju kerukunan nasional dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat.

Kerukunan Umat Beragama
Definisi kerukunan umat beragama didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006, Bab I, Pasal 1, poin 1).

Defini tersebut mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan mantan Presiden Soeharto berkaitan dengan makna kerukunan umat beragama dalam salah satu sambutannya. “Usaha membina kerukunan hidup umat beragama, saya rasa perlu beroleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu, kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita”. (Sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima peserta Rapat Kerja Departemen Agama, 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta).

Pencapaian kerukunan umat beragama tersebut adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama dan kepercayaan, pemerintah daerah dan pemerintah. Artinya semua komponen bangsa bekerja bersama-sama dan berkomitmen memelihara kerukunan umat beragama baik secara internal maupun eksternal berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Semangat membangun kerukunan umat beragama menjadi “roh” kebersamaan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Pandangan sempit, eksklusif dan menganggap pihak lain sebagai ancaman kiranya hilang dengan sendirinya. Sikap saling mencurigai dan merendahkan serta membenci antar umat beragama harus dihilangkan. Stigmatisasi agama lain sebagai kafir, warisan penjajah atau pendorong terorisme seyogiyanya sudah lenyap dari benak kita. Tidak ada lagi sikap formalisme yang membuat Pancasila hanya sebagai retorika, dimana nilai-nilainya tidak dilaksanakan. Semuanya harus mengedepankan roh kerukunan dalam kebersamaan.

Demikian pula sebagai fasilitator, pemerintah mulai dari kepala pemerintahan, gubernur, bupati/ walikota, camat, hingga pada lurah/ kepala desa wajib menciptakan dan menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama. Dengan demikian suasana aman dan kondusif dalam menggapai Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera dapat berlangsung.

Sekali lagi peran pemerintah tersebut hanyalah sebagai fasilitator, dan pemeran utama adalah setiap umat beragama. Hal ini pernah diutarakan mantan Presiden Soeharto dalam salah satu sambutannya semasa memerintah. “Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadah agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat (sambutan Presiden Soeharto pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, 29 Januari 1980 di Istana Negara).

Kerukunan Nasional
Kita patut mensyukuri kemajemukan bangsa kita. Teristimewa kemajemukan agama. Itulah sebabnya roh kerukunan yang terdapat pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 itu menjadi bagian penting dari kerukunan antar umat beragama menuju keadaan kerukunan nasional.

Kemajemukan bangsa kita dapat menjadi aset pembangunan bangsa sekaligus ancaman kehancuran bangsa yang mengarah pada fragmentasi. Semua komponen bangsa (aparatur negara dan masyarakat) wajib memelihara dan membangun kerukunan nasional agar tidak terjadi keterpecahbelahan bangsa dan macetnya pembangunan nasional.

Kerukunan nasional memang tidak didefinisikan dalam PBM Menag dan Mendagri No 9/8 Tahun 2006 tersebut. Namun pengertian dan maknanya tentu mencakup kerukunan segenap warga negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan kerukunan nasional adalah keadaan hubungan sesama warga negara Indonesia yang hidup bersama dan dilandasi visi kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemeliharaan kerukunan nasional adalah imperatif bagi semua umat beragama, masyarakat keseluruhannya, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Roh PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 tersebut menandaskan bahwa kerukunan nasional merupakan bahagian penting dari perwujudan kerukunan hidup antar umat beragama. Dengan perkataan lain, kerukunan nasional dapat tergapai bila kerukunan umat beragama sudah diupayakan dan dipelihara bersama. Dalam arti ini kehadiran PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 tahun 2006 patut disambut dengan lapang dada. Sebab ada roh kerukunan sebagai penggerak bersama dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat. Beberapa pihak memang masih merasa tidak puas. Tetapi kalau semua pihak berpegang pada roh kerukunan yaitu bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional maka Indonesia yang aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera pelan-pelan bisa dituju.

Kita semua berharap, sosialisasi PBM Menag dan Mendagri Nomor 9/8 Tahun 2006 nantinya seyogiyanya mengedepankan roh kerukunan yang berangkat dari kerukunan umat beragama sebagai bahagian dari perwujudan kerukunan nasional dan juga perwujudan perbaikan keadaan bangsa dan negara di masa yang akan datang menuju Indonesia baru dengan keadaban baru. Dengan demikian kita tidak lagi disebut sebagai bangsa Indonesia yang pura-pura Pancasilais dan bangsa yang seolah-olah beragama, tetapi memang sungguh-sungguh bangsa Indonesia yang sejatinya melaksanakan seratus persen nilai-nilai Pancasila dan seratus persen pula ajaran agamanya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan perkataan lain, setiap warga Indonesia bisa seratus persen Indonesia dan seratus persen pula menjadi pemeluk agamanya yang dilandasi nilai Pancasila dan nilai-nilai hak asasi manusia seperti yang dideklarasikan semua anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.


Penulis adalah pemerhati masalah hidup keagamaan,
Alumnus STFT Widya Sasana Malang.
Powered By Blogger