Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.
Tampilkan postingan dengan label khilafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label khilafah. Tampilkan semua postingan

Rabu, Agustus 28, 2019

Gerakan Fundamentalisme Islam (Sebuah Catatan dan Tanggapan)


       I.            Pendahuluan
Foto: http://libertymagazine.org
Gerakan fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Ada fundamentalisme kristen, fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, Fundamentalisme Buddha dan fundamentalisme agama lainnya. Pada hakekatnya, gerakan fundamentalisme agama muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas, produk Barat. Dalam paper ini, penulis membahas gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan fundamentalisme Islam menawarkan ideologi alternatif yaitu pemerintahaan Allah (hakimiyyat Allah) sebagai pengganti sistem pemerintahan demokrasi, produk modernisme. Gerakan fundamentalisme agama menimbulkan kekacauan dan konflik antar peradaban global, untuk itu diperlukan sebuah jembatan, dalam rangka membangun perdamaian antar komunitas peradaban di dunia, yaitu kesepakatan moralitas internasional.
Penulis memulai paper ini dari pengertian dan upaya fundamentalisme Islam melawan modernitas,  secara spesifik, demokrasi dipertentangkan dengan pemerintahan Allah, lalu sebuah tawaran moralitas internasional sebagai solusi alternatif, dan diakhiri dengan catatan serta tanggapan penutup.
Kata kunci: fundamentalisme agama, fundamentalisme islam, modernitas, pemerintahan Allah
    II.            Gerakan Fundamentalisme Islam
1.      Mengenal Gerakan Fundamentalisme Agama
Istilah fundamentalisme berasal dari kata dasar fundamen dan isme, fundamen berarti asas, dasar, fondasi; isme berarti paham. Fundamentalisme diartikan sebagai paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Fundamentalis diartikan penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci [1]. Dengan demikian istilah fundamentalisme dapat didefinisikan paham yang cenderung memperjuangkan sesuatu secara radikal berdasarkan ajaran agama asli seperti tersurat dalam Kitab Suci.
Fundamentalisme agama merupakan fenomena global. Dalam pandangan Bassam Tibi, seorang ilmuwan politik dan prfoessor  hubungan internasional, fundamentalisme agama  bukan merupakan sebuah gerakan spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada politisasi agama untuk tujuan sosio-politik dan ekonomi dalam upaya membangunan pemerintahan Ilahi atau berdasarkan salah satu agama. Fenomena fundamentalisme agama dapat ditemukan dalam agama besar dunia, seperti Islam, Hindu, Konfusianisme, Buddha, Kristen dan Yahudi[2].
Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan tentang gerakan fundamentalisme Islam. Dalam penyelidikan studi fundamentalisme Islam yang dilakukan Bassam Tibi,  agama bagi kaum fundamentalis adalah ekspresi dari tatanan ilahi, yang secara skematis bertentangan dengan tatanan dunia sekuler. Gerakan fundamentalisme Islam ingin memperjuangkan tatanan ilahi atau pemerintahan Allah berdasarkan Al Qur’an. Itu berarti, para fundamentalis agama adalah para ideolog dan aktivis politik, yang mementingkan kekuatan politik. Mereka menggunakan simbol-simbol agama dan mengisinya dengan makna baru demi mencapai tujuannya. Dengan demikian, gerakan fundamentalisme agama  melakukan politisasi agama demi tujuan ideologis dan politis, yaitu hendak mendirikan pemerintahan Allah di dunia[3], terutama setelah pengaruh modernitas mulai diperkenalkan Barat ke dunia global.

2.      Melawan Modernitas  atau Westernisasi
Gerakan fundamentalisme sangat dipengaruhi oleh modernitas. Modernitas memproduksi nilai-niai atau agagasan seperti demokrasi, budaya politik pluralisme, hak asasi manusia, toleransi dan liberalisme. Pada awal Renaissans, Machiavelli berangkat dari konsep tatanan ilahi dalam membangun gagasan bahwa manusia dapat memerintah dirinya sendiri. Gagasan pemerintahan rakyat oleh rakyat (yaitu:  kedaulatan rakyat) kemudian menjadi dasar legitimasi negara-bangsa sekuler, dan percaya bahwa kemajuan teknologi berkontribusi pada peradaban global yang menyatukan semua manusia. Namun, produk modernitas ini ditentang oleh gerakan fundamentalisme agama. Jika modernitas menekankan otonomi individu, fundamentalisme agama mengembalikan individu-individu ke kolektivitas dimana setiap orang dianggap sebagai pelengkap bagi komunitas atau masyarakat tertentu. Gerakan fundamentalisme Islam menawarkan makna alternatif baru bahwa pentingnya ikatan organik dengan sebuah peradaban, bukan kehendak bebas untuk menjadi anggota yang berpartisipasi dalam badan politik yang demokratis[4].
Modernitas memiliki dua dimensi yaitu struktural budaya dan institusional. Modernitas  struktural budaya merujuk pada karya Jurgen Habermas, yaitu prinsip subyektivitas yang dengannya seseorang didefinisikan sebagai individu yang memiliki kehendak bebas, mampu menentukan nasibnya sendiri dan mengubah lingkungan sosial dan alam. Modernitas institusional menjadikan sains dan teknologi sebagai pencapaian instrumentalnya[5].
Di bagian Timur Tengah dan sebagian besar peradaban non-Barat lainnya, modernitas telah melanda orang-orang, lebih pada institusi dalam bentuk hegemoni dan keunggulan teknologi dan militer Barat, dan bukan pada bidang budaya. Fundametalime Islam muncul sebagai ideologi pemberontakan  melawan modernisme atau Barat, terutama budaya Amerika Serikat. Terjadilah konflik antara peradaban yang berbeda pada skala global[6].

3.       Demokrasi versus Pemerintahan Allah
Gagasan demokrasi adalah produk dari Barat yang mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat. Demokrasi diterima sebagian dunia karena dapat menjadi dasar penyatuan umat manusia, meskipun terdapat perbedaan agama dan etnis. Sebaliknya, pemerintahan Allah, suatu tatanan ilahi (hakimiyyat Allah), yang disajikan oleh kaum fundamentalis Islam sebagai alternatif global bagi negara sekuler. Namun menurut Bassam Tibi, ide pemerintahan Allah ini memperburuk dan memecahbelah umat manusia ke dalam berbagai peradaban[7]. Konflik antar peradaban tersebut misalnya bentrokan antara Muslim dan Hindu di Ayodhya pada Desember 1992 merupakan peringatan. Karakter global fundamentalise agama menandai era kekacauan dan perselisihan terbuka baik tingkat lokal maupun tingkat internasional, regional maupun global.
Fundamentalisme Islam memandang demokrasi sebagai kekufuran. Hal ini misalnya dikatakan oleh tokoh fundamentalisme Aljazair, Ali Benhaj. Dalam pandangan mereka gagasan tentang hakimiyyat Allah/ pemerintahan Allah adalah alternatif penting bagi demokrasi. Dari contoh ini, terjadilah konflik mendalam antara fundamentalisme dan demokrasi[8].

4.      Upaya Merangkul Modernitas
Terkait reaksi dunia Islam dengan demokrasi, sebenarnya ada berbagai arus atau sikap yang muncul yaitu fundamentalisme, tradisionalisme dan reformisme Islam. Fundamentalisme Islam pada haekatnya politisasi agama dalam konteks global. Tradisionalisme merupakan arus yng mengedepankan syura atau konsultasi atau musyawarah  dalam mengambil suatu keputusan dalam hidup bersama.
Arus reformisme Islam merupakan arus yang mencoba merangkul demokrasi dengan cara-cara Islam. Pembaharu Islam terkemuka, Muhammad Abduh (1849-1905) berusaha mendukung modernitas budaya dan institusi dengan mencari sintesis konsep-konsep ini dalam Islam, dan melakukannya tanpa pemikiran kembali ke pandangan dunia teosentris Islam tradisional[9]. Upaya kaum reformis merangkul modernitas gagal, bukan karena mereka salah tapi berhenti menemukan solusi yang mungkin berhasil. Resistensi kaum fundamentalis terhadap demokrasi lebih kuta. Banyak pembaharu Islam mendapat ancaman dan hukuman mati. Salah satu pembaharu Islam yang dieksekusi tanpa diadili, misalnya syekh Sudan, Mahmoud Taha (1905-1985) pada tahun 1985 oleh diktator Sudan, Ja’far al-Numairi. Oleh karena resistensi yang kuat dan ancaman hukuman mati, tokoh pembaharu Islam lain seperti Abdullah A. An-Na’im (1946-…) dan Mohammed Arkoun (1928-2010) masih berharap untuk menerapkan dan mengupayakan reformasi Islam, tetapi mereka melakukannya di pengasingan, seperti di negara Barat, misalnya Paris, London atau Washington.
Menurut Bassam Tibi, sebagian besar Muslim, mulai dari para pemimpin politik mereka, memang merangkul modernitas dengan alasan konformisme. Konformisme adalah cara berurusan dengan yang tidak sesuai dengan Islam, sebelum memikirkan kembali dengan konsep dan pandangan Islam yang diwariskan. Karena belum ada upaya yang dilakukan mendamaikan antara tindakan menyimpang dengan ajaran Islam, konformisme Islam mengakibatkan kelambatan dalam berperilaku. Konformisme merupakan upaya naas berurusan dengan modernitas[10].
Di Indonesia, mayoritas Muslim Indonesia seperti diwakili oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, melihat demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Indonesia berbentuk negara republik yang demokratis, pada tahun 1998 memasuki pentas demokrasi yang sesungguhnya, karena tahun-tahun sebelumnya, sistem demokrasi belum terlaksana dalam arti demokrasi sesungguhnya. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, yang menghargai hak asasi manusia, Indonesia telah melibatkan lapisan masyarakat, terutama LSM, pers dan organisasi keagamaan. Menurut Ayang Utriza Yakin, demokratisasi adalah jalan yang paling baik untuk memelihara, melestarikan, dan mengukuhkan aset nasional sekarang ini, yaitu stabilitas, keamanan, persatuan dan kesatuan[11], bukan yang sistem yang lain.

5.      Pilar Moralitas Internasional
Fundamentalisme Islam berupaya menggulingkan tatanan dunia yang didominasi modernitas, dan menggantinya dengan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Namun dalam perjalanan waktu, pemerintahan berdasarkan agama tertentu tidak cocok dengan tatanan dunia dan negara-negara sekuler yang berdaulat. Konflik akan terus terjadi, jika ada pemaksaan suatu ideologi pemerintahan berdasarkan agama tertentu. Agama, entah agama apapun tidak tepat dijadikan sebagai alat politik atau dipolitisasi untuk kepentingan sekelompok pelaku. Jika dipolitisasi, maka akan muncul fundamentalis Muslim, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya. Untuk itu, solusi untuk menjembatani dan membangun perdamaian antar peradaban adalah pentingnya suatu kesepatan bersama secara global atau internasional yang dalam bahasa Bassam Tibi disebut moralitas internasional. Unsur-unsur moralitas internasional ini terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia.  Moralitas internasional ini sesuai dengan etika atau nilai agama-agama apapun[12].

6.      Fundamentalisme di Indonesia
Di Indonesia, sebagai salah satu negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kita dapat menemukan beberapa gerakan fundamentalisme Islam. Salah satu yang masih hangat adalah gerakan Hizbut Tahir Indonesia (HTI). HTI berupaya mengganti ideologi pemerintahan Indonesia yang berdasarkan Pancasila  menjadi sistem pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. HTI dibubarkan pemerintah Indonesia pada tanggal 19 Juli 2017 karena bertentangan dengan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Gerakan fundamentalisme Islam lainnya di Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa organisasi politik Islam. Organisasi politik bercorak fundamentalisme antara lain Parkai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). PKS dan PBB secara transparan anggota partai tersebut menginginkan agar syariat Islam diberlakukan di Indonesia. Ajaran Islam perlu dimurnikan di era modern sekarang ini[13]. Dewasa ini fundamentalisme Islam dalam arti ada keinginan kuat menerapkan syariat Islam di tingkat daerah maupun nasional bermunculan. Hal ini tampak dari Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada tahun 2017 dan Pemilihan Umum serentak nasional pada 2019.


 III.            Catatan dan Tanggapan Penutup
Gerakan fundamentalisme agama adalah fenomena global, bisa ditemukan dalam berbagai agama di dunia, seperti Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Buddha dan agama lainnya. Gerakan fundamentalisme pada dasarnya ingin memperjuangkan pemerintahan dunia berdasarkan prinsip-prinsip agama tertentu.
Gerakan fundamentalisme Islam muncul di tengah gerakan modernisasi dunia atau westernsasi sedang melanda sebagian besar belahan dunia. Fundamentalisme Islam menawarkan sistem pemerintahan Allah (hakimiyyat Allah) sebagai alternatif pemerintahan dunia sekuler,  menggantikan sistem demokrasi.
Gerakan fundamentalisme agama dalam kenyataannya akan bertabrakan dengan komunitas peradaban non-Muslim. Jika sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip Islam dipaksakan kepada dunia yang beraneka ragam peradaban, maka akan menimbulkan konflik dan memunculkan gerakan fundamentalisme dari agama lain, seperti Yahudi, Hindu, Kristen, Buddha dan lain sebagainya.
Pada hakekatnya, gerakan fundamentalisme agama adalah gerakan mempolitisasi agama demi kepentingan sekelompok pelaku. Menurut penulis, agama tidak dapat diperalat atau dipolitisasi, karena akan menimbulkan konflik baik internal penganut agama itu sendiri, maupun dengan ekternal, penganut agama lain.
Sebuah solusi untuk mengatasi konflik, maka perlu dibangun sebuah jembatan yang bisa mendamaikan aneka komunitas peradaban global yaitu membangun sebuah kesepakatan moralitas internasional yang terdiri dari demokrasi dan hak asasi manusia. Baik demokrasi maupun hak asasi manusia tidak bertentangan dengan ajaran agama apapun. Demokrasi adalah pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar manusiawi seperti hak hidup, hak kebebasan (berbicara/berpendapat, memilih agama atau keyakinan tertentu).
Penulis berpendapat, bahwa sistem demokrasi dalam pengertian sebagai suatu sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun, termasuk Islam. Sistem demokrasi sangat menghargai hak asasi manusia, kebebasan berpendapat,  termasuk kebebasan pers, dan pluralitas agama, budaya maupun etnis. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, sistem demokrasi sangat harmonis dan cocok dengan Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, termasuk agama, budaya dan etnis. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila, mengedepankan kebaikan bersama (umum) daripada kepentingan orang atau kelompok tertentu.
***

Sumber Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme, diakses 21 Juni 2019, pukul 15.15 WIB
Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism: Political Islam and and the New World Disorder,. Berkeley, Calif London: University of California Press, 1998
Yakin, Ayang Utriza, DEA., Ph.D,  Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer. Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Jakarta: Kencana, 2016, Divisi dari Prenadamediamedia Group, 2016
Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam (Telaah Kritis tentang Eksistensinya masa kini), Jurnal Sulesana, Volume 12 nomor 1 Tahun 2018, UIN Alauddin Makassar, 2018


[1] Arti kata diambil website Kamus Besar Bahasa Indonesia dari https://kbbi.web.id/fundamentalisme, diakses 21 Juni 2019, pukul 15.15 WIB
[2] Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism, University of California Press, Hal. 20-21
[3] Ibid., Hal. 23
[4] Ibid., Hal. 24
[5] Ibid.,  Hal. 24
[6] Ibid., Hal 24
[7] Ibid., Hal. 26
[8] Ibid., Hal. 26
[9] Ibid., Hal. 30
[10] Ibid., Hal. 32
[11] Yakin, Ayang Utriza, DEA., Ph.D,  Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer. Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad, Hal. 49
[12] Tibi, Bassam, The Challenge of Funfamentalism, University of California Press, Hal. 35
[13] Wahid, M. Abduh, Fundamentalisme dan Radikalisme Islam, Hal.73

Jumat, Agustus 24, 2007

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Khilafah, Pancasila dan Indonesia

Pormadi Simbolon

"Justru khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia," ujar Juru Bicara Hizbuth Tahrir Indonesia Ismail Yusanto pada pembukaan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta, Minggu (12/8) dalam menanggapi isu seputar maksud pertemuan itu. Dikatakan bahwa salah tujuan pertemuan tersebut adalah untuk kepemimpinan khilafah.


Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang mengacu kepada Al Quran dan Hadis. Dalam sistem pemerintahan khilafah kepala negara tetap memegang jabatannya selama ia tunduk kepada syari’ah. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.


Enam puluh dua tahun Indonesia sudah merdeka, selama itu pula gerakan ekstremis bermunculan hendak mengubah dasar negara Indonesia dengan berdasarkan pada salah satu dogma agama tertentu. Hal itu semakin terlihat jelas pasca otoritarianisme Orde Baru. Kita menyaksikan tribalisme sektarian. Ruang-ruang publik dan hidup bersama kita dikepung sekawanan ekstremis yang memburu pembentukan Indonesia atas dasar dogma agama, dan mereka coba menghapus perbedaan antara "agama" dan "negara".


Tampaknya gerakan dan perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia tidak akan pernah berhenti. Hal itu tampak dalam pengalaman dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Sudah terbukti dalam sejarah bahwa gerakan mendirikan negara Islam yang dilakukan Darul Islam atau DI/TII pimpinan Kartosuwiryo, yang berlanjut di daerah-daerah lain, seperti Aceh dan Sulawesi Selatan tidak berhasil. Sekarang ini juga ada yang menginginkan negara agama dalam bentuk cita-cita tegaknya Khilafah Islamiyah.
Sementara itu, dewasa ini kelompok-kelompok Islam berkehendak mengubah memperjuangkan gerakan islamisasi negeri ini melalui peraturan-peratuan daerah (Perda). Apakah Perda itu dapat membuat warga menikmati hidup kesehariannya secara lebih baik?

Benarkah Khilafah Menyelamatkan Indonesia?

Kaum nasionalis umumnya menolak pemerintahan dengan sistem khilafah. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dengan tegas menolak penerapan sistem khilafah di Indonesia. Ide khilafah atau pemerintahan tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia akan mendekonstruksi negara. (Kompas, 12/08/07)

Kaum nasionalis juga berpendapat bahwa politik transnasional tidak cocok diterapkan di Indonesia karena sistem politik yang dibawa dari Timur Tengah tersebut tidak sesuai dengan situasi politik di Indonesia.

Jika sistem khilafah diterapkan pasti akan berbenturan dengan sistem republik, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pancasila. Sebab jelas sekali, bahwa Negara Indonesia dibentuk bukan atas dasar salah satu agama. Dalam sistem khalifah, kepala negara memegang jabatannya selama ia tunduk pada syari’ah, sedang dalam sistem republik, kepala negara memegang jabatannya dalam waktu tertentu.

Pembentukan negara Indonesia yang sudah kita jalani selama 62 tahun ini oleh para bapa bangsa didasarkan pada prinsip ‘semua untuk semua’ bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan. Demikianlah Soekarno, proklamator RI ini pernah berkata, “Kita hendak mendirikan suatu negara Indonesia merdeka di atas weltanschauung apa? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? … Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan… Maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa…ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan”. (M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jakarta 1959, 68-69)

Pendiri bangsa ini telah melihat jauh ke depan, bahwa dasar negara Indonesia tidak tepat didasarkan pada dogma salah satu agama tertentu. Dasar negara seyogiyanya mengatasi kepentingan satu golongan, menembus kotak-kotak agama, merangkul semua penghuni negeri ini. Negara yang merangkul semua kepentingan warganya itulah yang akhirnya disepakai sebagai dasar negara dengan berdasarkan pada Pancasila yang berwawasan kebangsaan.

Baik tokoh-tokoh nasionalis maupun tokoh-tokoh muslimin sepakat menerima Pancasila sebagai dasar Negara RI berdasarkan pada prinsip: a) bahwa kaum muslim Indonesia melalui para pemimpinnya, ikut aktif dalam merumuskan dan sepakat menetapkan Undang-Undang Dasar 1945; b) bahwa nilai-nilai luhur Pancasila dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar Negara dan disepakai dan dibenarkan menurut pandangan Islam. (H. Achmad Siddiq dalam Sudjangi, penyunting 1992).

Kehendak membentuk Negara Indonesia dengan sistem khilafah Islamiyah jelas sekali tidak sesuai dengan Indonesia yang multikultural. Gerakan konseptualisasi negara Islam, atau Khilafah Islamiyah sesungguhnya bertabrakan dengan demokrasi. Tabrakannya terletak pada prinsip dasar, seperti pluralisme, ide kedaulatan, dan konstitusi. Demokrasi jelas menolak ide kedaulatan Tuhan dan berlakunya syariat Islam di dalam komunitas masyarakat plural, yang di dalam konsep negara Islam sebagai sesuatu yang prinsip. Ditambah lagi, dengan tidak adanya contoh konkret negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang ideal di dunia, bahkan di Timur Tengah yang memiliki tradisi Islam kuat. Apakah Arab Saudi, Pakistan, Iran dapat disebut sebagai representasi prototipe negara Islam, atau Khilafah Islamiyah yang sesungguhnya? (Khamami Zada, Suara pembaruan, 21/06/2007).

Barangkali, gerakan yang berkehendak untuk mengubah dasar negara RI tidak akan pernah berhenti. Namun sejarah akan membuktikan bahwa sistem negara yang merangkul kepentingan semualah yang akan menyelamatkan Indonesia. Bukan sistem yang mengedepankan kepentingan satu orang atau kelompok yang menyelamatkan Indonesia, tetapi kepentingan bersama alias bonum commune-lah yang menyelamatkan Indonesia.

"Kita" adalah realitas plural yang tidak akan menjadi tunggal. Tetapi, "kita" juga pluralitas yang sedang membentuk sebuah Indonesia yang maju, adil, makmur dan bermartabat. Ideologi Pancasila sudah menyerap semua kepentingan warga bangsa ini. Pancasila adalah untuk semua. Dasar negara adalah semua untuk semua, bukan untuk satu orang atau golongan. Hidup Pancasila!

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana malang,
Tinggal di jakarta
Powered By Blogger