Trima kasih mengunjungi blog kami!

Para pengunjung yth. semua isi blog ini ditulis atau disusun atas kemauan pribadi. Itu berarti blog ini berisi aneka pendapat, pemahaman, persepsi pribadi, dan pemikiran pribadi atas lingkungan kerja dan hidup sekitarnya. Harapan kami isi blog ini bermanfaat bagi pengunjung yang memerlukannya. Salam, GBU.

Kamis, Mei 11, 2006

POLITIK KOTOR DI TUBAN


Politik Kotor di Tuban

Oleh Pormadi Simbolon

Pemrotes hasil pemilihan ke-pala daerah (pilkada) Bupati dan Wakil Bupati melakukan "politik" bakar membakar. Akibatnya, selain kantor KPU Tuban serta pendopo kabupaten, dirusak pula sebuah hotel, dua pompa bensin dan 12 mobil. Sampai akhirnya aparat keamanan memberlakukan jam malam untuk menghentikan penularan kerusuhan ke daerah lain. Apapun alasannya, para pemrotes hasil pilkada di Tuban telah melakukan "politik kotor" dengan cara bakar membakar. Tindakan para pemrotes tersebut amoral dan mencederai jalan demokratisasi di Indonesia.

Hitler pernah berkomentar, "Tidak ada lapangan kehidupan yang demikian kotor seperti politik!" Komentar tersebut menjadi prinsip Hitler menjustifikasi tindakannya dalam rangka memusnahkan orang-orang Yahudi. Pemeo yang kebenarannya secara umum tidak ada yang menyangkal itu memang sangat diminati para partisipan lapangan kehidupan politik. Diminati untuk membenarkan, mengesahkan, melegalkan aneka praktek perjuangan kepentingan yang melanggar keadilan.

Peristiwa Tuban tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sekelompok massa telah melakukan cara- cara ilegal dan tidak adil dalam memperjuangkan hak-hak politiknya. Cara-cara mereka semakin membenarkan pemeo bahwa politik itu kotor. Pembenaran pemeo ini tidak saja berbahaya melainkan juga tidak tepat. Tidak tepat karena merupakan pelukisan sebagian saja dari sisi kenyataan lapangan kehidupan yang pada umumnya dianggap benar demikian.

Karena itu pemeo ini tidak bisa dipakai sebagai prinsip moral pembenaran suatu tindakan politis. Prinsip moral tidak bisa diasalkan secara induktif dari lapangan kehidupan konkret sekadar berdasar pada ciri umum tidaknya elemen- elemen prinsip itu. Sebab apa yang umum bisa dibilang tidak dan atau belum tentu baik dan benar.

Jadi walaupun pada umumnya diakui bahwa dalam lapangan kehidupan konkret apa yang disebut politik itu merupakan realitas keras, brutal, dan kotor, tidak bisa disimpulkan lantas dalam politik segala bentuk tindakan disahkan secara moral. Setiap keyakinan yang menjustifikasi kekerasan dan aneka penyalahgunaan karena meyakini pemeo "politik itu kotor" sangat naif. Tampaknya inilah yang terjadi pasca pengumuman hasil pilkada di Tuban.

Pembenaran terhadap prinsip "politik itu kotor" berasal dari pemikiran yang memisahkan antara moral dan politik. Diyakini oleh paham itu, moral merupakan lapangan pertimbangan dosa dan tidak dosa. Sedangkan politik adalah lapangan kekuasaan. Dalam mengejar dan membela kekuasaan pertimbangan dosa atau tidak dosa disisihkan, karena bukan saja akan mengganggu tekad untuk memutuskan tindakan tertentu, melainkan juga terutama tidak relevan.


Pemikiran semacam itu merupakan ciri khas filsafat machiavellian. Machiavelli, sang pioner filsafat politik modern, membedakan dan memproklamirkan pemisahan antara moral politik dan moral keutamaan manusiawi. Kebijaksanaan-yang dalam moral keutamaan manusiawi sama dengan keutamaan orang baik-dalam moral politik dipahami sebagai kepandaian untuk berperang, meneror pihak-pihak lawan demi perebutan kekuasaan.

Bagi Machiavelli, seorang raja atau pangeran yang baik adalah dia yang merebut, membela, dan mempertahankan kekuasaan. Bagai- mana itu dilakukan, Machiavelli tidak mempedulikan aturan prinsip-prinsip normatif caranya (bdk. The Prince, Bab XV).
Konsekuensi logis yang mengalir dari paham ini harus diakui, lantas terjadilah penendangan terhadap prinsip-prinsip moral. Di tangannya pula, politik lantas pertama-tama adalah soal merebut dan membela kekuasaan.

Politik Sejati

Politik adalah lapangan kehidupan yang menyentuh hampir secara menyeluruh hubungan antarmanusia. Dalam filsafat politik klasik, pengertian politik menunjuk pada rangkaian urusan yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang sempurna dalam polis.

Pengertian ini bukan merupakan idealisasi atau romantisasi makna politik, melainkan merupakan pemahaman yang lahir dari pengalaman akal sehat dan memiliki keterarahan yang selaras dengan tujuan kodrat (natura) eksistensi manusia. Para filosof klasik memandang bahwa dalam kodratnya manusia hanya akan menemukan kesempurnaannya apabila menjalin hubungan sedemikian rupa dengan sesamanya. Konsep manusia sebagai makhluk sosial dan politis menemukan artinya di sini, yaitu dalam usahanya yang secara kodrati menuju kesempurnaannya dalam kehidupan bersama. Kesendirian manusia tidak saja melukiskan kesepian, ketidaklengkapan, kengenasan, melainkan juga terutama ketidaksempurnaan.

Konsekuensi selanjutnya dari konsep ini ialah lantas setiap tindakan yang menghancurkan, membakar sesamanya siapapun mereka bukan saja merupakan tindakan keji, tetapi juga melawan kodratnya. Karena kodrat manusia berasal dari Allah, maka pencetus kerusuhan itu secara frontal melawan Sang Pencipta sendiri. Konsep bahwa kesempurnaan manusia terletak pada hubungan damai dengan sesamanya ini tidak melawan ajaran manapun juga, karena konsep ini didasarkan pada kodrat manusiawi.

Relasi politik dan moral sebenarnya langsung dan konkret. Hubungan langsung dan konkret tersebut dicetuskan dalam preferensi bukan kekuasaan atau pribadi pemegang kekuasaan (prinsip Machiavelli) melainkan hukum. Intisari kodrat pengertian hukum yang esensial ialah bahwa ia harus adil. Prinsip keadilan melekat dalam cara ada manusia menurut kodrat akal budinya.

Hukum sebagai produk akal budi manusia harus adil, sebab jika tidak hukum itu menyalahi prinsip kodrati akal budi manusia. Hukum tidak adil dari segi moral akan kehilangan daya ikatnya sebagaimana dimaksudkan oleh hukum.

Jika suatu hukum tidak adil toh diberlakukan, dan pelanggaran atas hukum itu dikenai sanksi, sanksi yang bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan kesalahan moral, melainkan merupakan kesewenangwenangan dari pihak yang memberi sanksi.

Dalam kasus kerusuhan Tuban, para pemrotes hasil pilkada melakukan jalur politik kotor dalam upaya memperjuangkan kekuasaan. Di satu sisi, tindakan bakar-membakar, mereka lakukan karena jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah mereka, namun di sisi lain, cara-cara mereka amoral dan mencederai proses demokratisasi Indonesia. Persoalannya adalah bila hukum belum ditegakkan secara tegas dan adil, maka selama itu pulalah akan terjadi politik kotor. Politik kotor dari Tuban akan menyebar ke daerah lain.

Penulis adalah alumnus STFT Widya Sasana Malang, tinggal di Jakarta

SUARA PEMBARUAN DAILY , Selasa, 09 Mei 2006

Jumat, Mei 05, 2006

PRESIDEN, HATI DAN PERILAKU YANG BERSIH

Oleh Pormadi Simbolon dan Liong Kwei Cun

PRESIDEN DAN HATI YANG BERSIH

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kebersihan dan sanitasi air di SD Negeri 01, Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta saat berkunjung ke sana Minggu Siang (16/04).


Menurut Presiden, jika lingkungan sekolah tidak bersih maka hati juga tidak bersih dan perilaku juga bisa menjadi tidak bersih.

Pernyataan Presiden SBY tersebut menarik dan relevan jika dihubungkan dengan kekecewaannya terhadap pemborosan barang/ harta negara oleh para pejabat beberapa hari yang lalu (Kompas, 13/04). Boleh dikatakan, Presiden juga kecewa terhadap lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya yang belum bersih. Artinya, hati dan perilaku individu pada jajaran pemerintahannya bisa jadi juga menjadi tidak bersih yang dicirikan dengan masih terjadinya sikap dan perilaku kotor seperti korupsi dan pemborosan barang/ harta negara.

Program SBY
Salah satu program pemerintahan SBY adalah penciptaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Presiden juga mengeluarkan sembilan instruksi kepada para gubernur dalam rangka mendukung terciptanya pemerintahan yang bersih dan para pejabatnya bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Tidak hanya itu, Presiden juga menggagas delapan langkah dalam rangka pemberantasan korupsi. Dan lebih tegas dan berani lagi, hal itu dilaksanakan pertama-tama dimulai dari membersihkan Kantor Kepresidenan, Kantor Wakil Presiden, Sekretariat Negara serta Yayasan-yayasan.

Namun sampai saat ini, pencapaian pemerintahan dengan birokrasi yang bersih dari korupsi masih tetap tinggal harapan. Kita belum menyaksikan hasil yang signifikan.

Memang perubahan menuju pemerintahan dan birokrasi yang bersih bukan tanggung jawab melulu pemerintah sendiri, tetapi juga masyarakat melalui sistem kontrol dan pengamatan.

Persoalannya, seringkali modal institusional (institutional capital) yang dimiliki SBY seperti Kabinet Indonesia Bersatu, DPR, MPR, Kejaksaan dan kehakiman tidak semuanya mendukung terciptanya perubahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Tidak adanya dukungan dari kelembagaan negara tersebut di atas guna menggapai pemerintahan yang bersih ditandai dengan adanya pemborosan barang/ harta negara oleh sebagian pejabat hampir di semua lembaga negara. Penggunaan telepon, air dan listrik di kantor lembaga-lembaga negara ternyata menghabiskan banyak uang negara. Pemborosan masih menjadi faktor inefisiensi pembangunan nasional di segala bidang. Mental mengumpulkan harta negara untuk diri sendiri atau kelompok amat kental dalam diri sekelompok pejabat dan pegawai negeri.

Bukan hanya itu, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tampak pada rekrutmen Calon Pegawai Negari Sipil menunjukkan bahwa pemerintahan SBY masih kotor alias tidak bersih.

Yang menarik, baru Presiden SBY (selain Megawati Soekarnoputri yang menyebut pemerintahannya bagaikan keranjang sampah) yang pernah kecewa terhadap pemborosan oleh pejabat negara dan mengungkapkannya kepada publik. Namun pengungkapan kekecewaann tersebut semestinya harus diwujudkan dalam bentuk gerakan bersama yang mendesak mengubah budaya sikap dan perilaku boros aparatur negara menuju budaya hemat. Gerakan hemat energi yang digemakan tahun lalu ternyata berlaku hanya sementara. Nyatanya pemborosan harta/ barang negara oleh sekelompok pejabat negara dan pegawai negeri sipil masih terjadi. Untuk itulah diperlukan sebuah gerakan hemat bersama yang terus menerus digalakkan pemerintah. Bahkan kalau mungkin, pemerintah dengan tegas menindak para pejabat dan pegawai berperilaku boros tersebut.

Hati yang Bersih
Pengungkapan kekecewaan Presiden SBY baik terhadap keadaan lingkungan SD Negeri 01 Pulau Kelapa maupun terhadap pemborosan oleh para pejabat negara menunjukkan budaya dan perilaku seorang pemimpin yang bijaksana.

Menurut Presiden, lingkungan dan sanitasi air SD Negeri 01 Pulau Kelapa yang kotor dapat membuat hati menjadi tidak bersih dan dengan demikian juga dapat menyebabkan perilaku menjadi tidak bersih pula.

Lalu bagaimana dengan keadaan lingkungan pemerintahan? Ada benarnya, jika lingkungan pemerintahan tidak bersih maka hati dan perilaku aparatur negara bisa menjadi tidak bersih. Pemborosan harta/ uang negara lewat pemborosan telepon, air dan listrik pada dasarnya dilandasi sikap dan perilaku egoistik. Banyak aparatur negara berpikiran bahwa barang/ harta negara diboroskan karena ia milik negara, bukan milik sendiri. Mungkin jika itu milik sendiri, maka mereka akan berhemat dan memeliharanya. Sikap dan perilaku pegawai negari demikian melukai rakyat yang tengah kesulitan ekonomi.

Sikap dan perilaku pejabat negara dan pegawai negeri dengan mental “itu milik negara, bukan milikku” merupakan sikap dan perilaku yang tidak bersih alias kotor. Sikap dan perilaku demikianlah yang seyogiyanya dibuang dari lingkungan pemerintahan oleh semua aparatur negara dan segenap masyarakat sehingga hati dan perilakunya juga menjadi bersih.

Sikap dan perilaku yang bersih lahir dari hati yang bersih. Hati yang bersih tumbuh dan berkembang dari kultur atau budaya individual maupun kolektif. Artinya kebudayaan menjadi sentral dalam pembangunan mencapai terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Kebudayaan seharusnya menjadi pusat perhatian dalam mencapai produk perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perubahan itu bersifat semu dan superfisial.


Pemerintah seyogianya memprioritaskan pengelolaan pembangunan di bidang kebudayaan yaitu dengan mencoba mengejar perubahan sikap dan perilaku yang ditandai dengan kultur yang beradab. Semua elemen bangsa, baik aparatur negara maupun masyarakat perlu komit untuk mengubah cara berpikir, kebiasaan mental dan cara bertindak manusia secara fundamental.

Pada hakekatnya sikap dan perilaku yang bersih berasal dari hati yang bersih. Hati yang bersih dicirikan dengan budaya hemat, jujur, kerja keras, bersih, disiplin, moderat, adil, dan demokratis, seperti yang dipraktekkan para pemimpin negara yang sukses seperti Benjamin Franklin (1706–1790). Ia menjadi Presiden Amerika Serikat yang sukses karena berhasil mengubah kultur hidupnya sendiri dan masyarakatnya.

Penulis adalah peserta kelompok diskusi filsafat dan masalah-masalah sosial.
Powered By Blogger